Selasa, 29 Oktober 2013

FIGO: KAPAN MERDEKA SELESAI



KAPAN MERDEKA SELESAI
Oleh Figo Acm
(mengenang sumpah pemuda) 

STFK LEDALERO

'Tuhan kami tak sanggup lagi hidup dalam kemerdekaan, kami terbelenggu, biarlah kemerdekaan ini berlalu'

Kemerdekaan bagi sebagian orang adalah "ruang" kebebasan. Orang seakan terlepas dari ruang penindasan dan beralih menuju ruang yang lebih bebas. Manusia selalu ada dalam ruang. Kebebasan dan keterbelengguan adalah bagian dari ruang-ruang kehidupan manusia.

Tangga 17 Agustus 1945 sebuah institusi yang bernama Indonesia terbentuk dan masuk ke dalam sankar yang lebih bebas. ruang dan sangkar tidaklah jauh berbeda. Sangkar adalah sebuah bentuk ruang. Burung Garuda bersama rakyatnya masuk dalam sangkar yang lebih luas.

Lalu selama tiga puluh dua tahun bersama Suharto orang hidup dalam sangkar "ORBA". Sebuah sangkar yang lebih keras, kejam, senyap melebihi penjara Guantanamo. Orang memberontak, di mana-mana. puncaknya tahun 98', Suharto dipaksakan untuk keluar dari sangkar. Tapi rakyat Indonesia enggan keluar.

Kini dalam Ruang Demokrasi, orang merasa lebih bebas. Di Jakarta, Surabaya, dan di banyak Kota-Kota besar orang bebas, bebas mencuri uang, bebas meneror, bebas memperkosa hak orang lain. Di desa-desa orang bebas menyembunyikan raskin, menggelapkan dana-dana sosial, mencuri ternak tetangga.

Sampai pada akhirnya kami yang di kampung-kampung mati satu persatu, mereka bebas merenggut hidup kami dan anak-anak kami. Kami semakin bodoh, tiada buku lagi untuk dibaca, toh orang-orang propinsi sudah menghabiskan uang yang seharusnya dijadikan buku bagi anak-anak kami. Merdeka???? Sejak kapan kita merdeka??? 17 Agustus 1945????...

Ah...kamu semua penipu. Kemerdekaan kita hanya membuat kami sengsara. Sampai pada akhirnya kami berharap "KAPAN MERDEKA SELESAI?" Tuhan biarlah kemerdekaan ini berakhir. Kami tak sanggup lagi hidup dalam RUANG KEMERDEKAAN, Tuhan...kami terbelenggu.

FIGO ACM Oktober 2013



REFLEKSI


UUD 45’ TENTANG KEMERDEKAAN
UUD 1945 alinea kedua seakan-akan menegaskan bahwa benar jika kemerdekaan Indonesia hanya sebah mimpi belaka. Di situ tertulis demikian "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Mengenai bunyi alinea ini teman saya berkomentar bahwa kita bangsa Indonesia sesungguhnya belum menyentuh kemerdekaan. Kita belum masuk dalam ruang yang merdeka. Beliau melanjutkan bahwa perjalanan bangsa Indonesia baru sampai di gerbang kemerdekaan. Ibarat tamu yang pergi bertamu tetapi tak kunjung masuk ke rumah orang teetapi sepanjang hari bertahan di depan pintu rumah kendati tuan rumah tidak membukakan pintu baginya. Selama 68 tahun masyarakat Indonesia hanya terpaku di depan ruang mimpi. Guyon kawanku  sambil tertawa “kita masih belum masuk-masuk juga. . . . .mungkin karena gemboknya terlalu banyak kawan”. Ya benar gerbang kemerdekaan kita sebenarnya terkunci oleh sekian banyak gembok dan terkunci oleh sekian banyak tangan penguasa dan pemodal.

Seharusnya kita bertanya ketika orang sulit mengungkapkan fenomena semacam ini, “ada apa dengan gerbang tersebut sehingga kita sulit untuk menembusinya. Apalagi orang-orang kampong, mereka mungkin selalu berharap akan Prometheus yang mau menghantar mereka masuk menuju kemerdekaan itu. Tapi dalam kenyataannya banyak orang yang menolak untuk melakukan pekerjaan ini, bahkan ada yang mendorong mereka untuk lebih jauh ke belakang. Melihat gerbang kemerdekaan saja tak diberi kesempatan apalagi masuk dalam kemerdekaan itu sendiri. Tidak mengherankan jika kami yang dikampung selalu berharap agar kemerdekaan itu harus segera berakhir.

KEMATIAN PROMETHEUS
Dalam sejarah Indonesia sebenarnya ada banyak Prometheus yang berusaha untuk mencuri kunci gerbang kemerdekaan dari para pemimpin itu. tetapi seperti nasib promotheus ia dihukum karena mencuri api dari para dewa untuk diberikan kepada manusia begitu pula mereka, satu persatu hilang tampa bekas. Sebut saja wiji tukul, munir, tibo cs, dll. Bedanya dalam kisah prometheus api yg dicuri pada akhirnya sampai pada tangan manusia mesti ia akhirnya dihukum oleh penguasa Olimpus (jantungnya terus bertumbuh meski setiap hari dicotok oleh elang raksasa. Munir dkk lenyap secara misterius bersamaan dengan semakin misterinya keberadaan kunci gerbang kemerdekaan itu.
Semuanya penuh misteri, kemerdekaan adalah misteri. Suatu misteri yang bertahan selama 68 tahun dan tak pernah terbongkar. Pemegang kunci gerbang juga adalah misteri, entah siapa dan di mana semua orang lebih memilih untuk bungkam toh Suharto tak pernah dipenjara meski dituduh telah membuat sekian banyak kejahatan. Mereka yang menuntut keadilan juga hilang lenyap meninggalkan sejumlam misteri yang belum terungkapkan hingga hari ini. Ya, kadang misteri itu selalu memakan banyak korban agar dianggap angker dan tak ada orang lain yang mencoba memecahkan misteri itu. Mungkinkah mereka ini disebut sebgai koraban yang tidak beruntung, tumbal ritual agar sebuah sistem yang terselubung terus dianggap angker . Benar jika ada yang menyebutkan bahwa republic ini adalah republik mimpi yang penuh dengan misteri.                   

ILUSI TENTANG KEMERDEKAAN
Kesimpulan untuk setiap fenomena di atas tertuang dalam sebuah komentar seorang kawan saat saya mengupload tulisan kecil di atas pada akun facebook yaitu “KEMERDEKAN ITU SEBUAH ILUSI: UTOPIS (Hans Hayon). Ia melanjutkan, “karena terhenti pada utopia maka kemerdekaan itu sering digugat oleh banyak orang” . tentang yang utopia ini Khalil Gibran pernah menulis, jika ada kawan yang tertidur janganlah kau ganggu dia, sebab mungkin dia sedang menikmati keindahan mimpi-mimpinya tentang kemerdekaan, tetapi aku berkata kepadamu jika ada hamba yang tertidur, bangunkan dia dan ajaklah dia berdiskusi tentang kemerdekaan. Penguasa Negara kita selalu membiarkan rakyatnya terlelap dalam tidur yang berkepanjangan dan membiarkan mereka terbuai dalam mimpi-mimpi itu. Ketika masyarakat tidur, mereka mulai beraksi. Pencurian dalam kegelapan dan saat masyarakat terlelap adalah saat yang paling baik untuk membuat diri semakin kaya.
Demokrasi tidak bisa berjalan dalam kebiasaan seperti ini di mana masyarakat dibiarkan berkhayal tentang kemerdekaannya. Demokrasi adalah berdialog tentang jalan menuju kemerdekaan, bukan pula sebatas menatap gerbang kemerdekaan atau bertahan di pintu gerbang. Demokrasi mengandaikan kebebasan dan kemerdekaan. Dulu, di zaman suharto ada demokrasi, orang bebas berbicara tapi suharto bilang "jangan asal bunyi", orang takut.  Sekarang orang juga bebas berbicara, orang tidak takut, tetapi para pemimpin lebih tidak takut lagi, malah mati rasa. Benar jika kemerdekaan itu hanyalah sebuah utopia belaka, tidak punya makna, jauh panggang dari api.

KELUAR DARI KEMERDEKAAN
Tentang kemerdekaan yang cenderung memasung seorang teman menganjurkan suatu bentuk kehidupan yang “keluar” dari kemerdekaan itu. Ia menganjurkan demikian “Hidup di luar negara
di luar (dari) "merdeka", Di dalam Otonomi”. Benar juga apa yang dianjurkan ini, akhir-akhir ini Negara sebagai penjamin hak-hak dasar manusia seakan-akan turut terlelap dalam tidur atau lebih tepatnya bersembunyi di balik kegelapan. Hak atas kebebasan dan kemerdekaan dilecehkan begitu saja, tidak ada jaminan berarti bahkan jaminan yang dikoarkan Negara hanya terhenti pada tataran normatif seperti yang tertuang dalam konstitusi dan UU. Keberdaan Negara menjadi nyata sejauh berperan dalam hidup masyarakat. Negara kehilangan unsur legitimnya jika tak mampu memenuhi kewajibannya untuk memenuhi, melindungi dan menghormati hak-hak dasarwarga. Mungkinkah kita harus hidup di luar “merdeka”?.
Bottom of Form

FIGO: HERMENEUTIKA; AKTUALISASI TEKS DI SEGALA ZAMAN



HERMENEUTIKA; AKTUALISASI TEKS DI SEGALA ZAMAN

OLEH: FIGO ACM

STFK LEDALERO

”Metode hermeneutika menjadi luar biasa jika sang penulis mampu menampilkan hal yang tersembunyi, yang tak pernah diduga atau dipikirkan tetapi sebenarnya terkandung dalam kedalaman sebuah fenomena. Hermeneutik adalah menghidupkan yang mati, membangkitkan yang tertidur. Bertolaklah ke tempat yang dalam, selamilah dan bawah dia ke permukaan (Figo Acm)”.

FUNGSI HERMENEUTIK
Hermeneutika selalu berhubungan dengan cara manusia berpikir tentang sesuatu dan menuangkannya dalam tulisan. Kareana berhubungan dengan cara maka hermeneutika lebih dikenal sebagai metode. Metode yang dipakai manusia untuk berpikir dan menjelaskannya dalam tulisan. Tulisan hermeneutis berbeda dengan tulisan-tulisan biasa yang hanya menempatkan sesuatu apa adanya. Menulis dengan metode hermeneutik akan menghasilkakn sebuah tulisan yang hidup, bergairah dan menggetarkan. Metode hermeneutik yang menggetarkan itu kini tampak dalam gaya bicara dan kedalaman  berpikir dosen filsafat manusia STFK Ledalero, Dr. Leo Kleden. Beliau dengan kharisma hermeneutisnya sering membuat orang hanyut dalam rangkaian kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia melukiskan sesuatu hal dengan mengakmodasi segala hal (KS, Sastra, Mitos dll) sehingga menjadi sangat bermakna dan mendalam. Kembali ke metode hermeneutik, mulanya hermeneutik selalu disandingkan dengan penafsiran kitab suci. Tetapi di kemudian hari tepatnya tahun 1871 Edward Burnett Taylor merumuskan merumuskan gaya hermeneutik dalam karya Primitive Culture. Ia menulis “ tidak ada legenda, tidak ada alegori, tidak ada rima yang tidak membutuhkan hermeneutik untuk mengerti mitologi-mitologi”. Hingga kini metode hermeneutik digunakan manusia dalam menafsir segala jenis teks dengan latar waktu dan situasinya masing-masing.

HERMENEUTIKA DAN POSMO
Metode hermeneutik hampir sejalan dengan gaya menulis a la posmo. Coba perhatikan tulisan-tulisan menarik yang dihasilkan oleh dosen Posmo STFK Ledalero, Dr. Paul Budi Kleden. Beliau selalu menghadirkan gaya menulis yang membuat orang lain merasa tertarik untuk memahami seluruh isi tulisan. Selain kaya akan makna dan mendulang makna yang mendalam, keindahan dan gaya penulisannya sering kali di luar dugaan. Dia sering menghubungkan gagasan utama tulisannya dengan berbagai hal atau cerita, mitos, legenda, puisi, drama, film, lagu dan hal-hal non ilmiah lainnya. Baginya sesuatu yang ilmiah ternyata membutuhkan hal-hal yang tidak rasional tetapi turut mendukung keilmiahan sebuah tulisan. Oleh karenanya banyak orang yang merasa puas ketika membaca tulisannya. Bukan hanya sekedar mengerti maksud di balik tulisan tetapi juga keindahan tulisan yang disuguhkan bagi para pembaca. Banyak hal tak terduga yang ia tampilkan dalam sekian tulisan yang telah dipublikasikannya, semisal contoh tulisan-tulisan yang dimuat pada harian Pos Kupang. Metode penulisan hermeneutik selalu berusaha untuk menghadirkan hal-hal yang tak terduga dari sekian kemungkinan yang tersembunyi pada sebuah fenomena, peristiwa atau gagasan. Sungguh menarik jika seorang penulis mampu menghasilkan sebuah tulisan dengan metode hermeneutik bergaya posmo. Dr. Leo Kleden dan Dr. Budi Kleden sudah menunjukannya kepada  kita semua.

HERMENEUTIKA; MENGHIDUPKAN YANG MATI
Hermeneutika sebenarnya mau menegaskan bahwa sebuah teks tidak harus selalu ditafsir apa adanya seturut apa yang ditampakkan teks itu. Tulisan yang baik adalah tulisan yang kaya akan makna. Di sini hermeneutika sebenarnya mau membongkar teks-teks yang terlalu menutup diri dari kemungkinan-kemungkinan penafsiran. Hermeneutik melawan hegemoni kekuasaan dan kepentingan di balik hadirnya sebuah teks. Mari kita kembali membuka ingatan akan hegemoni kekuasaan masa orde baru. Demokrasi orde baru memberi kebebasan kepada semua orang untuk berbicara dan menulis. Tetapi kebebasan itu terpasung dalam ancaman “jangan asal bunyi”. Ada beberapa sastrawan yang yang diringkus atau hilang tak membekas karena tuduhan asal “tafsir”. Jadi selama masa orde baru gaya hermeneutik belum terlalu tampak kendati ada beberapa sastrawan yang tetap berani menerapkannya seperti Goenawan Muhammad. Di era ini semua orang memiliki kebebasan untuk berbicara dan menulis; bebas berpikir dan menafsir. Kemerdekaan dan kebebasan dasar manusia sebagai hak asasi sebenarnya turut membantu manusia dalam membebaskan teks-teks yang kaku, miskin dan mati.

KONTEKSTUALISASI TEKS
Hermeneutik juga harus berhubungan dengan kontekstualitas kendati bersifat bebas tafsir, bebas represif. Ada sekian banyak teks misalnya teks KS atau teks sastra yang ditulis ribuan atau ratusan tahun yang lalu. Ada beberapa teks dari sekian teks yang melukiskan situasi kehidupan masa itu. Sehingga jika ditilik sepintas maka banyak maksud yang tertera sudah out of date, sudah tidak sesuai dengan situasi zaman kita. Di sini fungsi sentral hermeneutik semestinya bekerja. Tugas hermeneutik adalah mengkontekstualkan sebuah teks atau tulisan. Segala aspek yang berbicara tentang masalah hidup mesti diakomodasi dalam satu kesatuan teks yang ditafsir. Tugas kita adalah membuat teks menjadi aktual di segala Zaman.

FIGO ACM, Oktober 2013

Jumat, 11 Oktober 2013

AHMADYAH; ANTARA KEBEBASAN BERAGAMA DAN PENODAAN TERHADAP SEBUAH AGAMA ??



        

AHMADYAH; ANTARA KEBEBASAN BERAGAMA DAN PENODAAN TERHADAP SEBUAH AGAMA?

OLEH :FIGO ACM

STFK LEDALERO
 

 Persatuan dan kesatuan di Indonesia semakin terancam ketika pluralitas yang menjadi kekuatan dan alasan untuk bersatu dikhianati. Persoalan seputar agama menjadi salah satu hal yang merongrong persatuan dan kesatuan tersebut. Perbedaan yang pada dasarnya menjadi kekuatan bagi kita untuk saling melengkapi dan saling menguatkan malah dipakai untuk menjadi alasan pemisahan. Mungkinkah Indonesia yang beraneka agama itu mesti tunduk pada satu agama saja sembari menutupi kemungkinan lain untuk bertemu dengan Tuhan. Mungkinkah Indonesia mesti terdiri dari Islam saja atsau Katolik saja ataukah memberikan kesempatan pula kepada umat Tuhan yang lain seperti Ahmadyah untuk hidup dan berkembang. Indonesia bukanlah Negara agama tetapi Negara yang beragama dan mendasarkan dirinya pada Pancasila dan tunduk pada Tuhan yang Maha Esa, bukan tunduk pada sebuah agama yang maha esa. Karena memang tiada agama yang maha esa di bumi ini. Ada banyak jalan menuju ke Roma, begitupula ada banyak cara untuk bertemu Tuhan dan memperoleh keselamatan darinya.Tuhan tidak pernah melarang umat manusia untuk sampai kepadaNya tatapi toh apa sebenarnya yang menjadi alasan bagi manusia untuk melarang sesamya bertemu dengan Tuhan yang sama itu. Fenomena kekerasan terhadap kelompok Ahmadyah dan tuduhan akan kesesatan ajaranNya oleh sekelompok orang tertentu menunjukan kesombomngan religius dan kesewenang-wenangan dalam mengatur usaha sesama yang lain untuk bertemu dengan Tuhan yang diyakininya.
Penolakan dan kekerasan terhadap kelompok Ahmadyah oleh sebuah gerakan atau kelompok tertentu atas nama agama menjadi inti dari isi penulisan ini. Kekerasan yang terjadi di Cikeusik adalah salah satu contoh kekerasan yang menimpa orang-orang dalam kelompok Ahmadyah. Apa sebenarnya yang dipersoalkan oleh orang –orang tertentu terhadap kelompok yang dibentuk Mirza Ghulam Ahmad beberapa tahun silam itu. Apakah Ahmadyah mewartakan kejahatan sehinggaharus diperangi dan dihancurkan atakah karena hasil dari penafsiran yang dangkal terhadap kehadiran dan isi ajaran yang mereka anuti. Kiranya kehadiran Ahmadyah sejak beberapa tahun yang lalu itu tidak pernah mengganggu siapa-siapa di bumi Indonesia ini. Pluralitas dan Pancasila tidak pernah dilecehkan, malah kehadiran mereka timbul atas nama kebebasan dan atas nama keragaman yang jelas diterima Pancasila. Tetapi ada kelompok tertentu yang merasa begitu terganggu dengan kehadiran Ahmadyah ini. Mereka menuduh Ahmadyah menyebarkan ajaran yang sesat dan itu diatur oleh UU. Sehingga ada yang mengatakan bahwa persoalan Ahmadyah bukanlah persolan kebebasan beragama tetapi penodaan terhadap sebuah agama.
Di Indonesia UU yang mengatur kebebasan beragama tidak memiliki kepastian, ada dualisme di dalamnya. Di satu sisi kebebasan beragama diakui tetapi disisi lain kebebasan itu dipasung. Misalnya UU penodaan  agama, hemat saya UU ini memasung kebebasan beragama. Kebebasan kelompok Ahmadyah untuk hidup dan berkembang dipasung oleh isu penodaan terhadap sebuah agama, sehingga mereka dilarang untuk menyebarkan ajrannya bahkan diancam untuk dibubarkan. Lebih aneh lagi ketika UU seakan tidak berdaya dengan tindakan kekerasan atas nama agama. Untuk itu lebih tepat jika UU yang berlaku saat ini disebut sebagai UU kebebasan untuk menyerang atas nama agama. Di sini HAM dikhianati, orang bebas bertindak apa saja terhadap orang lain, toh agama dan UU membenarkannya. Indonesia sudah meratifikasi peraturan mengenai HAM dalam Kovenan Internsional. Tetapi kekerasan terhadap kelompok Ahmadyah menegaskan bahwa ratifikasi itu adalah suatu kesia-siaan. Di manakah tindak lanjut dari hasil ratifikasi kovenan Internaasional tentang Ham dalam UU Negara kita bila tindakan kekerasan jelas-jelas dilegitimasi oleh UU yang sama?
Selain karena ketidak jelasan peraturan perundang-undangan dalam mengatur kebebasan beragama dan ketakmampuan yang berwenang untuk merevitalisasi isi UU yang menyesatkan namun ada juga hal lain yang mesti diperhatikan agar tindakan kekerasan itu tidak terjadi lagi di tanah air ini. Sederetan tindak kekerasan atas nama agama yang terjadi dewasa ini disebabkan oleh pendangkalan ajaran agama dan pemahaman yang lemah terhadap maksud dari kehadiran sebuah agama. Banyak orang yang tidak mengerti dengan isi ajaran yang dianutinya. Penafsiran yang dangkal menyebabkan orang merasa benar ketika diminta untuk membunuh atau menghancurkan sesama yang lain. Di sisi lain kekerasan yang semakin marak terjadi ini bermula dari keyakinan yang salah tentang agama sendiri dan agama orang. Banyak yang menilai dan menegaskan kebenaran mutlak agamanya sembari menegasi kebenaran dari kelompok agama lain. Maka tidaklah mengherankan ketika sekian agama saling membenarkan diri dan kemudian timbulah konflik dan kekerasan. Bukankan agama-agama yang ada  itu adalah bentuk-bentuk dari sarana yang dipakai agar bisa berjumpa dengan Yang Maha Esa. Untuk itu tidak dibenarkan jika sebuah kelompok agama tertentu menyebutkan agamnya yang paling benar di hadapan Tuhan dan manusia.
Alasan-alasan di atas mengancam keberadaan kelompok Ahmadyah untuk bertahan di Indonesia. Kelompok yang dibentuk Mirza Ghulam ini mungkin segera berakhir di bumi Pancasila ini. Jika benar maka pluralitas yang dibangga-banggakan, Bhineka Tunggal Ika yang terkenal itu dan kerukunan antar umat beragama yang diakui dunia menjadi tidak berarti dan sia-sia. 

LERENG LEDALERO, Oktober 2013