Jumat, 29 November 2013

KORUPSI ; MENGKHIANATI PERJANJIAN SINAI



KORUPSI ; MENGKHIANATI PERJANJIAN SINAI
(Menelisik Kasus Korupsi Sebagai Suatu Perbuatan Dosa Menurut Efesus 4:28)

FIGO ACM
STFK LEDALERO


Abstract: Sin is an act that violates God's law. Stealing is one of the prohibited acts as contrary to God's law. In the Decalogue God commanded the Israelites to not steal or take anything that does not belong. Command not to steal the previously addressed to the people of Israel is now the law that must be obeyed by all of us. We are only entitled to what belongs to us. Stealing appears in a variety of human action. One is corruption.Corruption is understood as the act of taking something that does not belong or in other words stealing other people's rights. Therefore corruption is a sin because it violates God's command. In Indonesia, corruption is entrenched sin. Why do people tend to corrupt even though corruption is recognized as an act of sin?
Kata-kata kunci: dosa, mencuri, korupsi

MENCURI; PERINGATAN UNTUK EFESUS DAN FAKTA DI  INDONESIA
“Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan” (Efesus 4;28). Demikianlah Paulus dalam suratnya kepada orang-orang di Efesus. Efesus adalah sebuah kota yang makmur dan berkembang. Kota Efesus merupakan kota perdagangan yang sangat maju pada waktu itu, bahkan dapat dikatakan bahwa kota Efesus menjadi kota yang kaya dan terkenal sebagai pusat budaya, agama, perdagangan, dan menjadi kota metropolis. Kota metropolis seperti ini cenderung menyisahkan gap sosial antara kelompok yang kaya dan yang miskin, jadi gap antara orang kaya dan miskin bukan produk masa kini tetapi sudah ada sejak dahulu. Demikian juga dengan jemaat Efesus, mereka bukanlah jemaat yang miskin tetapi kelompok yang sudah makmur karena mempunyai keuangan yang cukup. Kemamkmuran inilah yang kemudian menjadi sebuah kecemasan bagi Paulus. Mungkin inilah alasan mendasar Paulus menulis pesan kepada merka untuk tidak mencuri. Karena dalam berbagai kenyataan aktus mencuri terjadi bukan hanya karena orang tidak memiliki sesuatu tetapi karena orang tidak puas dengan sesuatu yang sudah diperolehnya. Orang ingin memperoleh lebih dari sekedar yang sudah dimiliki.

Di Indonesia kasus korupsi cukup bersahabat dengan para pejabat. Orang-orang kaya dan berkecukupan sering terlibat dalam aksi pencurian uang rakyat. Jarang terdengar seorang petani miskin yang tidak berpunya melakukan tindakan korupsi. Jika dibandingkan maka sebenarnya yang seharusnya terlibat dalam kasus korupsi adalah mereka yang miskin. Situasi mereka yang tidak memiliki apa-apa mungkin menjadi alasan untuk mengambil, tetapi ironinya orang-orang kayalah yang senantiasa menghiasi berita-berita dalam media massa seputar persoalan korupsi. Semisal contoh kasus korupsi di kabupatn Sikka terkait dana Bansos yang merugikan negara sebesar 10,7 miliar (Pos Kupang 11 Agustus 2012). Bantuan sosial seharusnya diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkannya. Namanya saja sosial berarti untuk kepentingan bersama. Tetapi yang terjadi adalah privatisasi dana untuk diri dan keluarga.
Paulus mengkhawatirkan terjadinya kasus korupsi (mencuri) di dalam anggota jemaat Efesus. Situasi Efesus yang maju dan berkembang mendorong orang untuk menjadi yang terdepan. Hal ini berpeluang mendorong anggota jemaat untuk menghalalkan segala cara demi mencapai ambisi itu termasuk mencuri. Kecemasan Paulus akan situasi Efesus pada waktu itu menjadi nyata di Indonesia di masa kini. Situasi Indonesia yang sedang beralih ke dunia modern  dan berbagai sistem yang rumit dalam birokrasi membuka peluang terjadinya aksi mencuri. Beberapa tahun terkahir ini Indonesia dikenal sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Para pejabat, mulai dari pejabat pemerintah pusat sampai pada pemerintah daerah gemar mencuri uang rakyat. Jika Indonesia dikenal sebagai salah satu negara terkorup maka Indonesia ternyata memiliki banyak pencuri. Dan menurut hukum Allah maka banyak orang berdosa di bumi Indonesia. Dosa adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum Allah (Maryanto dalam Kamus Liturgi, 2004: 49). Orang tidak mengindahkan hukum Allah yang ke delapan seperti tertuang dalam dekalog “jangan mencuri”. 

KORUPSI ; MENGKHIANATI PERJANJIAN DENGAN ALLAH
Peristiwa sinai adalah peristiwa perjanjian Allah dengan Israel. Allah mengikat perjanjian dengan umat Israel dalam bentuk dekalog. Allah menurunkan perintahnya atas Israel dan israel menjawabinya dengan menerima perintah itu sebagai dasar hidup mereka. Di hadapan Allah umat Israel berjanji untuk setia menjalankan semua yang dikehendaki Allah seperti yang terurai dalam dekalog. Salah satu perjanjian yang diikat Allah bersama dengan umat Israel adalah pesoalan mencuri. Allah menghendaki agar umat Israel hidup apa adanya, tidak mencuri atau mengambil hak orang lain. Adalah dosa ketika umat Israel di kemudian hari melanggar perjanjian ini. Hingga saat ini mencuri berarti mengkhianati perjanjian manusia dengan Allah. Umat Kristen memahami ungkapan dosa sebagai perilaku manusia yang merusak perjanjian Allah dan manusia, yang mengganggu keberadaan sendiri dan sesama; keadaan tanpa keadilan (Diktat Teologi Moral: 132).
Orang dikatakan berdosa jika ia dengan tahu dan mau, dengan sadar dan sengaja, melanggar hukum Allah (Maryanto dalam Kamus Liturgi, 2004: 49). “Jangan mencuri” adalah hukum ke delapan yang diwahyukan Allah bagi umat manusia. Sehingga mencuri dengan tahu dan mau yang dalam konteks ini disebut sebagai korupsi adalah suatu perbuatan dosa. Korupsi yang saat ini marak terjadi di Indonesia adalah suatu bentuk pengantitesaan terhadap hukum Allah yang sudah diturunkan berabad-abad yang lalu. Dalam tataran hukum Allah korupsi tidak lain berarti mencuri di mana orang tidak mengindahkan perintah Tuhan. Suatu perbuatan mengambil dengan tahu dan mau seturut kehendak bebas. Dosa sebagai pilihan bebas berarti manusia mengikuti suatu keputusan yang ia buat secara sadar dan bebas untuk melakukan pilihan yang bertentangan dengan Tuhan (Diktat Teologi Moral: 137).

KORUPSI: KARENA TUHAN TERLALU MISKIN?
Sifat dasar manusia adalah kecenderungannya untuk terus memiliki apa yang diinginkan. Hal ini akan sungguh berbahaya ketika orang berhadapan dengan keterbatasan dalam ketakterbatsan. Keinginan tak pernah berakhir dan berbatas, ia akan terus mengalir sejauh manusia terus berimajinasi dan menerjemahkannya dalam tindakan nyata. Usaha untuk mencapai yang diinginkan kadang tidak sesuai dengan kenyataan yang sedang terjadi. Korupsi adalah salah satu akibat dari pertentangan antara keterbatasan dan ketakterbatasan. Kecenderungan manusia untuk memiliki dan terus memiliki sulit direaklisasikan karena tidak memiliki materi tertentu. Jalan pintas yang sering dipilih adalah korupsi. Orang mengambil sesuatu yang bukan menjadi miliknya. Suau pertanyaan untuk kita, apakah Tuhan terlalu miskin untuk memenuhi segala kebutuhan kita ataukah kita terlalu rakus meski Tuhan sudah memenuhi yang seharusnya kita punyai. Tuhan itu adil, Ia tahu apa yang menjadi kebutuhan kita. Tetapi kita tidak tahu apa sebenarnya yang benar-benar kita butuhkan. Segala kemewahan yang kita inginkan bukanlah sesuatu yang niscaya kita miliki. Kadang keinginan akan kemewahan itu bersifat situasional. Di saat lapar orang miskin tidak berpikir untuk mendapatkan sebuah mobil tetapi dalam kelimpahan orang kaya tidak pernah merasa cukup.
Perasaan akan berbagai kekurangan dalam hidup yang mendorong setiap insan untuk segera memilikinya akhirnya berujung pada dosa. Manusia mengarahkan hidupnya semata-mata pada mamon dan matri-materi lainnya. Ketergantungan inilah kemudian melahirkan dosa, di mana manusia ingin memperkembangkan dirinya sendiri di hadapan Tuhan tanpa mengakui ketergantungannya di hadapan Tuhan (Diktat Teologi Moral: 137). Apakah Tuhan terlalu miskin sehingga tidak ada lagi yang diharapkan dari padaNya? Karena Tuhan dianggap miskin sehingga orang akhirnya mencari jalan lain untuk mencuri dan merampas dari orang lain.
Korupsi juga menegaskan bahwa yang dibutuhkan itu ada pada orang lain dan bukan pada Tuhan. Orang beranggapan bahwa tidak ada mamon yang dapat diambil dari Tuhan.

DOSA KORUPSI DAN DOSA BARU
Menurut metafisika Kristen, segala sesuatu, sejauh ia berada, menurut kualitas keberadaan bersifat baik. Hanya sejauh ada kekurangan pada keberadaanya itu, sejauh suatu aspek seharusnya ada tetapi de fakto tidak ada, sesuatu bersifat bobrok atau jahat (Kirchberger, 2012: 267). Pada dasarnya segala sesuatu itu baik. Ketika orang membuat sesuatu yang baik itu mejadi tidak baik maka yang baik itu menjadi berkurang atau menyisahkan lowong. Situasi seperti ini memungkinkan untuk bertenggernya kejahatan. Dana bansos itu bai adanya. pemerintah membuat program ini dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat yang miskin. Menjadi berbahaya ketika orang mulai membuatnya menjadi tidak baik. Ia mejadi tidak baik ketika dana bansos ini dilihas sebgai lahan untuk mencuri, nah mencuri inilah yang kemudian disebut sebagai yang bobrok. Yang bai kehilangan keutuhannya, yang baik menyisahkan lowing untuk yang jahat karena yang baik tidak berjalan seperti seharusnya dia berjalan.
Jika yang baik bisa menyisahkan lowong bagi yang jahat maka kebobrokan pasti akan menimbulkan suatu kebobrokan baru. Korupsi itu jahat dan bobrok sehingga jelas tidak ada yang baik dalam korupsi, malah cenderung untuk menghasilkan dosa-dosa lainnya. Di tanah air ini uang hasil korupsi jarang dipergunakan untuk kepentingan amal, apalagi di musim seperti ini uang-uang tersebut sering diigunakan untuk membeli suara rakyat. Dari korupsi timbulah apa yang kita sebut sebagai money politic. Money politic itu sahabat dari kecurangan dan ketakjujuran. Ini melanggar hukum ke delapan di mana umat manusia dilarang berdusta tetapi harus bersikap jujur. Dosa yang dibuat seseorang jelas tersebar dengan cepat dan ia seperti menjadi perangkap bagi dosa-dosa lain seperti dosa makan buah yang mengakibatkan dosa perpecahan Adam dan Eva (Diktat Teologi Moral: 138).

PENUTUP
Sudah dikatakan sebelumnya bahwa dosa dipahami  sebagai perbuatan yang melanggar hukum Allah. Perjanjian sinai antara Allah dam umat Israel yang tertuang dalam dekalog seharusnya menjadi dasar hidup bagi kita semua. Ketika kita mengabaikan dasar-dasar itu dan memformat hidup dengan cara kita sendiri maka pada saat itu kita terjebak dalam dosa. Korupsi adalah suatu fenomena di mana manusia membentuk caranya sendiri dalam usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan semu. Melalui korupsi manusia sebenarnya telah menciptakan sekian banyak dosa.
Manusia mengingkari perjanjian sinai, manusia meremehkan kekuasaan Allah, manusia membuka jalan untuk dosa-dosa baru.
Suatu ajakan bagi kita semua untuk kembali pada jalan yang benar. Memang ada begitu banyak tawaran menggiurkan yang datang dari dunia tetapi pesan Paulus kepada jemaat di Efesus di tengah situasi yang menggiurkan seharunya direfleksikan secara lebih mendalam lagi. Yang situasional dan yang fana bukanlah yang seharusnya kita peroleh karena itu semua tidak menjamin keselamatan kekal di akhirat. Carilah harta surgawi yang bisa menghadirkan kemewahan abadi di surga. Ingat kembali surat Paulus 4:28 kepada orang-orang Efesus “...tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan...”, itulah harta surgawi yang mesti dikejar.






DAFTAR PUSTAKA

Maryanto, E. Kamus Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Kirchberger, G. Allah Menggugat; Sebuah Dogmatik Kristiani. Maumere: Ledalero, 2012.
DIKTAT TEOLOGI MORAL
POS KUPANG 11 AGUSTUS 2012















Jumat, 22 November 2013

KEKERASAN TERHADAP KELOMPOK AHMADIYAH SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM



KEKERASAN TERHADAP KELOMPOK AHMADIYAH SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM

OLEH: FIGO ACM 
STFK LEDALERO

Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan kekerasan sebagai perihal (yang bersifat, berciri) keras: perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik aau barang orang lain; paksaan.[1] Jika ditilik sesuai dengan pengertian di atas maka kekerasan boleh dikatakan sebagai hal yang lumrah terjadi di negara Indonesia. Pemaksaan, pengerusakkan sampai pada pembunuhan marak terjadi di mana-mana.
Tragedi Cikuesik dan berbagai peristiwa lainnya di mana terjadi aksi pembunuhan , penganiayaan dan pengrusakan barang dengan orang-orang Ahmadyah sebagai korbannya merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kisah tragis yang dialami masyarakat Indonesia. Kelompok Ahmadyah di kejar, dijegal dan dilarang untuk melakukan kegiatan keagamaannya. Ketika larangan ini tidak diindahkan maka yang terjadi adalah tindakan-tindakan anarkis yang membabibuta. Kelompok atau organisasi masyarakat tertentu katanya merasa terancam dengan praktek keagamaan yang dibuat kelompok Ahmadyah. Sebenarnya tidak ada praktek yang melecehkan kelompok manapun namun perasaan takut akan tersingkirnya keberadaan mereka menyebabkan timbulnya aksi anarkis itu. Radikalisme umumnya selalu dikaitkan dengan pertentangan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu.[2] Identitas dianggap lebih berharga dibandingkan dengan martabat manusia. Sehingga demi mempertahankan identitas diri atau kelompok orang rela melecehkan martabat manusia. Kekerasan terhadap kelompok Ahmadyah berawa dari ketakutan akan hilangnya identitas yang telah mapan. Ahmadyah dinilai berpotensi menenggelamkan kemapanan identitas itu. Dengan demikian jalan yang dipilih adalah menyingkirkan kelompok Ahmadyah. Kebebasan beragama dan beribadat relatif berjalan baik, namun seringkali bertabrakan dengan klaim kebenaran ajaran dari kelompok konservatif atau bahkan fundamentalis.[3] Serangan terhadap Ahmadiyah berhubungan dengan identitas kelompok fundamentalis yang merasa terkikis.Pengrusakkan dan pembunuhan adalah cara ekstrim pragmatis untuk mempertahankan identitas. Seharusnya kita tahu bahwa satu-satunya identitas yang mesti dihargai dan dipertahankan adalah martabat manusia, karena martabat manusia melekat dengan kemanusiaan itu sendiri. Maka tidaklah logis jika ada orang yang mengorbankan martabat manusia demi sebuah identitas semu.
Fatwa MUI pada tahun 1980 dan kemudian tahun 2005 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat seturut syariat Islam, tidak harus diterjemahkan dengan kekerasan. Sebuah organisasi atau kelompok agama boleh menilai kesesatan ajaran agama lain ketika terbukti bertentangan dengan ajaran sebuah agama, tetapi tak satupun yang memiliki kapasitas atau merasa wajib untuk melakukan kekerasan . Ajaran yang disampaikan Mirza Ghulam jika dibandingkan dengan ajaran Islam tentu memiliki sekian perbedaan yang signifikan, misalnya pengakuan adanya Nabi baru setelah Nabi Muhamad. Tetapi perlu dimengerti bahwa perbedaan ini tidak menjadi unsur yang melegitimasi kekerasan. Sehingga tidak dibenarkan jika ada yang melakukan kekerasan karena merasa dirinya atau kelompoknya dinodai. Di lain pihak ada yang berpendapat bahwa Ahmadiyah beserta ajarannya telah memancing kerusuhan. Pendapat ini benar dan kebenarannya hanya berlaku untuk orang yang bodoh. Maksudnya adalah hanya orang yang tak berpendidikan dan tak mengerti makna dari kebebasan sebagai hak dasar yang berpendapat bahwa Ahmadiyah memancing kerusuhan, termasuk orang yang melakukan kerusuhan karena merasa terpancing. Orang harus  paham bahwa pilihan suara hati untuk meyakini sesuatu yang dianggap benar tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Sehingga tidak ada yang merasa bertanggungjawab terhadap pilihan orang lain termasuk pilihan Ahmadiyah untuk meyakini ajarannya sekalipun bertentangan dengan Islam. Penekannya adalah hanya orang bodoh yang terpancing untuk melakukan suatu kerusuhan karena adanya perbedaan suara hati untuk sebuah keyakinan.
Ketika yang diserang adalah martabat manusia maka kekerasan terhadap kelompok Ahmadyah merupakan sebuah bentuk pelanggaran HAM. Korban jiwa dalam tragedi Cikuesik menegaskan bahwa ada tindakan yang bertentangan dengan kehidupan. Tak seorangpun yang berhak untuk menghilangkan nyawa orang lain. Hak untuk hidup adalah hak yang dimiliki setiap manusia. DUNHAM pasal 3 menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi. Begitu pula dengan Konvensi Internasional Tentang Hak- Hak Sipil dan Politik, tahun 1966 pasal 6 ayat 1 yang berbunyi pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tiada insan manusia yang secara semena-mena boleh dirampas kehidupannya. Oleh karena itu kekerasan terhadap kelompok Ahmadyah khususnya yang menyerang martabat manusia tidak bisa dibenarkan.


[1] Kamus besar bahasa Indonesia
[2] Zaiunudin, Atiqa dan Dwi Purnanto, Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial, Surakarta MUP 2002 hal 1
[3] Marianus Kleden, HAM dan Masyarakat komunal, hal 16

Senin, 11 November 2013

HARMONI UTOPIA RATU ADIL, HARMONI YANG MASIH HARUS DIPERJUANGKAN



HARMONI UTOPIA RATU ADIL, HARMONI YANG MASIH HARUS DIPERJUANGKAN
(Meringkas Dari F. Budi Hardiman dalam HAM)
Figo Acm

Pada bagian ini Budi Hardiman sebenarnya mau mengarahkan kita semua untuk memahami etika harmoni (jawa) secara benar. Baginya terdapat perumusan yang belum sepenuhnya benar tentang etika harmoni. Etika harmoni tidak boleh dimengerti secara mutlak, sebab akan menghadirkan sikap fatalsitis, membuat individu bersikap pasif pada penindasan dan tekanan serta cenderung untuk bertahan pada tatanan yang sudah mapan. Magnis suseno pernah menyebutkan bahwa Sikap fatalistis ini tampak dalam kebiasaan untuk menerima segala sesuatu yang menimpa mereka tampa protes (nrima), membiarkan (rila) dan tampa kepentingan serta sabar (sepi ing pamrih). Penjelasan di atas tentang etika harmoni menurut Budi Hardiman hanyalah separu dari kebenaran. Menurut beliau bahwa dalam kenyataan, masyarakat jawa tidak selalu pasif seperti yang terungkap dalam etika harmoni tetapi mereka sering berlaku aktif misalnya sering melakukan pemberontakan-pemberontakkan (para petani), perjuangan kemerdekaan, protes melawan petinggi dan tuan-tuan kolonial
Pemahaman universal yang mapan tentang etika harmoni bisa dipatahkan jika ditilik dari kenyataan yang pernah terjadi dalam masyrakat jawa di atas. Kenyataan itu dalam bahasa Budi disebut sebagai momen. Ada momen yang mendekonstruksi prinsip-prinsip etika harmoni. Budi menyebutkannya sebagai momen utopis dan eskatologis. Pemberontakan yang sering terjadi dalam masyarakat jawa tidak  serta merta ditimbulkan oleh kesengsaraan ekonomis tetapi juga oleh utopia bahwa seoarang ratu adil akan hadir dan menegakkan keadilan. Pemberontakan karena sebuah utopia atau harapan. Harapan ini terus terpendam dan menjadi bagian dari etika harmoni yang mewarnai hidup dunia priyayi. Koentjaraningrat meyebutkan bahwa ide ini (utopia) merupakan reaksi untuk melawan etika harmoni atau cara hidup jawa. Utopia ini adalah kombinasi sinkretis dari unsur pribumi, budha dan islam. Abad 18 dan 19 muncul teks yang kemudian dikenal sebagai ramalan jayabaya tentang ratu adil. Seorang raja yang akan tampil di saat masyarakat berada dalam zaman edan (dekandensi, krisis moral, huru-hara), dialah yang akan memulihkan keadaan. Dan kepercayaan itu bertahan hingga kini serta mempengaruhi pemikiran orang jawa khususnya saat masyarakat ditindas atau terkena krisis.
Utopia akan ratu adil juga adalah konsepsi tentang harmoni tetapi dengan cara yang berbeda. Jika harmoni dalam etika harmoni dimengerti sebagai tatanan alamiah yang sudah ada sebelumya maka harmoni dalam ratu adil (utopia) adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Harmoni itu belum ada (yang ada adalah tatanan yang korup, harmoni yang melegitimasi tatanan yang menindas orang kecil). Menurut Sindhunata etika harmoni yang sudah dianggap mapan harus dimotifikasi karena banyak hal dalam etika harmoni yang tidak bisa diterima begitu saja oleh kaum miskin. Cita-cita tentang harmoni belum menjadi nyata bagi wong cilik.