Rabu, 30 April 2014

DEMOKRASI PATERNALISTIK SEBAGAI METANARASI

DEMOKRASI PATERNALISTIK SEBAGAI METANARASI
(Penyelewengan Sistem Demokrasi Di Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Metanarasi Menurut Lyotard)

Figo Acm
STFK LEDALERO


METANARASI MENCIPTAKAN TOTALITERISME
Postmoderenisme adalah aliran dalam filsafat yang ingin meruntuhkan segala ide dan gagasan dalam cara pandang moderen. Ada yang dilihat salah atau kurang dalam gagasan-gagasan moderen yang mesti dipatahkan, sebab gagasan dalam filsafat moderen dinilai tidak memberi andil bagi perkembangan hidup manusia. Dengan demikian postmoderenisme tampil sebagai reaksi atas ketaksanggupan modernitas menepati janji-janjinya.[1]
Jean Francois Lyotard adalah filsuf  Perancis dalam filsafat postmoderenisme yang dengan tegas menolak metanarasi. Metanarasi berhubungan dengan hal-hal yang bersifat universal yang menjadikan segala sesuatu dalam yang satu dan tunggal atau dengan kata lain sebagai usaha penyeragaman akan segala sesuatu dalam satu bingkai saja. Metanarasi juga berhubungan dengan sesuatu yang tetap, stabil dan permanen. Sehingga dalam metanarasi ada kecenderungan untuk mentotalisasi sejarah dan tujuan-tujuan umat manusia.[2]  Akibat yang ditimbulkan dari setiap metanarasi seperti yang sudah disebutkan di atas menjadi alasan bagi Lyotard untuk menolak semua hal yang memiliki kemungkinan untuk menghidupkan totaliterisme, fasisme dan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Disebutkan pula bahwa metanarasi menjiwai dan mengarahkan masyarakat moderen dengan memberi dasar dan legitimasi bagi institusi-institusi  dalam berbagai macam bidang kehidupan seperti sistem dan praktek sosial politik, hukum, moral serta cara berpikir.[3]

DEMOKRASI PATERNALISTIK SEBAGAI TOPENG BAGI TOTALITERISME
Demokrasi adalah salah satu sistem yang stabil. Demokrasi adalah sebuah bentuk dari sistem pemerintahan yang kini diterapkan di Indonesia. Dan sistem itu diterapkan secara menyeluruh bagi segenap masyarakat Indonesia, sementara setiap orang mesti tunduk pada sistem yang diakui bersama ini. Sebab demokrasi dilihat sebagai prasyarat emanispasi sosial: proyek pembebasan individu dan sosial, menjadi manusia otentik dan otonom, dari segala relasi kekuasaan sosial, ekonomi, politik, budaya dan gender yang menghisap, menindas dan penghinanaan manusia oleh manusia.[4] Demokrasi diyakini mampu menciptakan keharmonisan dalam hidup bernegara dan mendukung pembangunan. Meski demikian demokrasi tidak selalu membawa udara segar dalam kehidupan sosial. Sistem yang dipandang mempersatukan ini ternyata dilihat sebagai masalah oleh Lyotard, dia menolak akan adanya sebuah badan pemersatu sebagai sistem yang stabil.
Salah satu masalah yang ditampilkan dalam wajah demokrasi Indonesia adalah masalah paternalisme. Paternalisme itu sama halnya dengan kebaikan yang problematis atau bermasalah.[5] Ada sekian banyak keputusan yang kelihatanya bermanfaat untuk masyarakat tetapi sebenarnya tidak dibutuhkan oleh warga. Kebaikan yang bermasalah ini menunjukkan bahwa ada kepentingan yang terselubung dibalik setiap program yang dicetuskan.Kecenderungan pemerintah untuk mengatur segala sesuatu demi terciptanya uniformalitas yang kadang tidak sesuai dengan kebutuhan adalah contoh dari tindakan paternalistik. Alih-alih menciptakan keadilan sosial malah pemerintah menjadikan judul demokrasi sebagai topeng untuk meraup keuntungan pribadi. Paternalisme sebenarnya mematikan kreatifitas masyarakat. Pemerintah terlalu jauh mengatur semua hal yang pada dasarnya bisa diatur sendiri oleh masyarakat, tetapi alasan uniformalitas dan keseragaman (keseragaman dalam arti semua orang mesti mengalami hal yang sama adalah bentuk dari keadilan yang semu) membuat masyarakat harus tunduk pada sistem tersebut. Pada akhirnya sistem tersebut menghadirkan totaliterisme. Padahal demokrasi sebenarnya merupakan musuh utama totaliterisme dan fasisme.[6] Demokrasi sebagai topeng bagi totalitersime ini hemat saya sejalan dengan alasan mengapa Lyotard menolak segala bentuk metanarasi.
Paternalisme adalah wajah totaliter yang besembunyi dalam balutan demokrasi. Di Indonesia yang “demokratis” praktek yang paternalistik sering kali dijumpai, sebab penerapan demokrasi di Indonesia adalah kelanjutan dari sistem kapitalisme yang terselubung. Selalu ada kepentingan tertentu yang termuat dalam sistem demokrasi di Indonesia. Paternalisme adalah bias dari adanya kepentingan yang terselip dalam sistem demokrasi itu, dia adalah bagian dari sebuah narasi besar “Demokrasi”. Budaya paternalisme menunjuk pada hubungan antara pimpinan sebagai pihak yang paling dominan apabila dibandingkan dengan masyarakat selaku pengguna jasa, sehingga pola hubungan dipandang secara hierarkis.[7] Masalah seperti ini sebenarnya menjadi salah satu dari sekian alasan bagi Lyotard untuk menolak metanarasi.

PENUTUP
Demokrasi sebagai sistem menghadirkan hirarki-hirarki di dalamnya. Ada yang berperan sebagai pemimpin atau pengatur dan ada yang membiarkan dirinya diatur. Fenomena pengatur dan yang diatur ini cenderung menimbulkan totaliterisme. Ketika yang mengatur merasa mapan dengan legitimasi untuk mengatur maka perlahan-lahan timbul keinginan untuk menguasai. Paternalisme yang mewarnai sistem pemerintahan saat ini adalah bias dari legitimasi untuk mengatur tersebut. Dan demokrasi menjadi jembatan bagi diktator untuk menerapkan sistem paternalistik, totaliter dan otoriternya.
Lyotard adalah filsuf yang menolak segala jenis metanarasi, sebab baginya metanarasi hanya akan menimbulkan tindakan-tindakan yang tidak humanis seperti otoriter dan totaliter. Ada banyak pandangan moderen yang bersifat objektivistis yang kemudian menjadikan manusia sebagai objek pula.[8] Sehingga demokrasi yang dijadikan sebagai topeng, mengobjekan yang lain dan berpeluang untuk menindas mesti ditolak.


DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:
Gaut, Willy. Filsafat Postmodernisme Jean-Francois Lyotard. Maumere: Ledalero, 2010.
Sugiharto, Bambang. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Jogjakarta: Kanisius, 1996.
Gusti, Otto. Filsafat Politik. Maumere: Ledalero, 2013.
Rachman, Fadjroel. Demokrasi Tampa Kaum Demokrat. Jakarta: Koekoesan, 2007.
Gaut, Willy. “Mengakui Kemajemukan Merayakan Perbedaan”.  Dalam VOX Seri 55/02-04/2011.

Internet:
http://paradigmakaumpedalaman.blogspot.com/2011/11/budaya-birokrasi-pemerintahan-di.html BUDAYA BIROKRASI PEMERINTAH DI INDONESIA, diakses tanggal 15 April 2014.




[1] Budi Keden dalam Prolog Willy Gaut, Filsafat Postmodernisme Jean-Francois Lyotard (Maumere: Ledalero, 2010), p. xi.
[2] Wiliy Gaut, “Mengakui Kemajemukan Merayakan Perbedaan” dalam VOX Seri 55/02-04/2011, p. 125.
[3] Willy Gaut, Filsafat Postmodernisme Jean-Francois Lyotard (Maumere: Ledalero, 2010), p. 54.
[4] Fadjroel Rachman, Demokrasi Tampa Kaum Demokrat (Jakarta: Koekoesan, 2007), p. 15.
[5] Otto Gusti, Filsafat Politik (Maumere: Ledalero, 2013), p. 69.
[6] Fadjroel Rachman, loc.cit.
[7] http://paradigmakaumpedalaman.blogspot.com/2011/11/budaya-birokrasi-pemerintahan-di.html BUDAYA BIROKRASI PEMERINTAH DI INDONESIA, diakses tanggal 15 April 2014.
[8] Bambang sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat (Jogjakarta: Kanisius, 1996), p. 28.

Jumat, 18 April 2014

KONSEP NGGA'E NDEWA DALAM KEPERCAYAAN LOKAL KEO MAUNORI

 KONSEP NGGA'E NDEWA DALAM KEPERCAYAAN LOKAL KEO MAUNORI

Figo Acm
LEDALERO

"LOCAL BELIEVE OF KEO MAUNORI...konsep Ngga'e Ndewa untuk Wujud Tertinggi dalam kepercayaan lokal Keo Maunori".

'''semua agama, tidak peduli apapun namanya...siapapun pendirinya atau bagaimana ritual pemujaannya selalu terarah pada satu substansi tunggal yaitu Yang Mahatinggi....

Masa sebelum tahun 1570  yaitu sebelum Misionaris Dominikan mendarat di KEO adalah masa di mana orang Keo (Maunori dan sekitarnya) menemukan yang Maha Tinggi di balik Pohon Besar seperti Nunu Mere atau di balik Batu-Batu Besar. Pohon-Pohon Besar dan Batu-Batu yang dikeramatkan bukanlah sarana berhala. sembah sujud di hadapan pohon (pu'u kaju mere) dan batu (watu mere) ini terarah kepada Yang Mahatinggi atau Ngga'e Ndewa.

Yang Mahatinggi bagi orang Keo Maunori akrab disapa Ngga'e Ndewa atau Ngga'e Rade Ndewa Reta (the Lord Below and the God Above). Di bawah Ngga'e Ndewa ada roh-roh lain yaitu "nitu", ada ndewa keda dan nitu nggiku (these are the ancestral spirits). Bagi kami orang Maunori "nitu" tidak selalu diterjemahkan sebagai roh yang jahat. Ada nitu yang baik yang menjadi mediator antara manusia dan Ngga'e Ndewa..sehingga ada istilah yang biasa digunakan dalam kematian yaitu "nitu niu ndewa enga". Nitu dalam kepercayaan Keo hampir sama fungsinya dengan Malaikat dalam ajaran agama Katolik yaitu sebagai pembawa pesan dari Tuhan.

Dalam bahasa Keo Maunori "ngga'e" berarti orang atau individu, dan jika kita padukan dengan kata lain seperti "ta ngala ngga'e" akan berarti "pemilik". Sehingga Ngga'e (Yang Maha Tinggi dalam kepercayaan Keo) berarti Pemilik dan Tuan untuk segala sesuatu baik yang di atas (langit/diru) maupun yang di bawah (bumi/tana). Ngga'e adalah pencipta segala sesuatu "Imu ta welo diru ne'e tana".

Do'a dan Persembahan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam proses komunikasi antara manusia dan Yang Maha Tinggi dalam kepercayaan lokal orang Keo Maunori. Orang Maunori menyebutnya dengan istilah "su'a soda" untuk do'a dan "Kuwi rupi" untuk persembahan.  Semuanya selalu terarah pada Nggae Ndewa sebagai yang tertinggi meski dibuat melalu mediator "ine embu, embu kajo". Ine Embu ta mata mudu re'e do'e adalah bagian dari "ancestral spirits". Mereka dekat dengan Yang Maha Tinggi.

Demikian ulasan singkat tentang konsep Nggga'e Ndewa dalam kepercayaan lokal orang Keo Maunori.

***catatan: lebih jelasnya baca di buku tulisan P. Dr. Philipus Tule, SVD. "Longing for the House of God, Dwelling in the House of the Ancestors".

Kamis, 17 April 2014

TUBUH DAN DIA YANG TERSALIB



TUBUH DAN DIA YANG TERSALIB

 FIGO ACM
LEDALERO 2014

Seks tidak selalu berarti berhubungan badan.  Seks ada berkat kebertubuhan manusia. Jadi sudah ada sejak manusia dilahirkan, hidup dan menanti di ambang kematian. Karena substansi seks yang demikian maka seks adalah penting untuk semua orang. Sehingga tidaklah mengherankan jika Paus Yohanes Paulus II berbicara banyak tentang seks.
Seks menjadi milik semua manusia. Seks dalam hubungannya dengan persetubuhan tidak harus dimengerti sebagai upaya pemuasan salah satu dari dua pasangan melainkan suatu klimaks yang ,mesti dirasaklan secara bersama-sama. Untuk itu setiap pasangan  mesti mengerti keadaan fisik dan biologis setiap pasangan. Misalnya kenyataa bahwa gairah seksual pada perampuan umumnya meningkat secara perlahan dan menurun juga secara perlahan. Utnuk itu seorang pria harus tau akan keadaan ini agar sama-sama merasakan klimaksnya. Di sini seks tidak lagi dipandang sebagai kenikmaan hedonistik tetapi lebih pada hal altruistik. Ingat bahwa cinta adalah antitesis dari egisme. Dalam seks ego pribadi harus ditanggalkan agar cinta antara dua orang yang berhubungan benar-benar dirasakan.
Kadang seks salah dimengerti dan diartikan. Oleh karenanya tanpa disadari manusia  sedang menegasi kebertubuhan manusia menjadi non manusia. Seperti yang diucapkan Deshi Ramadhani “seks zaman ini menjadikan manusia tidak lagi manusia”. Ego dan kepentingan-kepentingan tertentulah (bisnis) membuat seks kehilangan makna sebenarnya. Seks kemudian dijadikan alat yang terpisah dari tubuh manusia meski pada dasarnya dia menyatu dengan manusai berkat kebertubuhannya.
Tubuh sesungguhnya dan hanya tubuh mampu membuat terrlihat apa yang tidak trelihat yaitu Allah. Ini menjadi alasan munculnya Teologi Tubuh. Tubuh membicarakan banyak hal tentang Allah.Tubuh mungkin menjai pemicu berbagai masalah di dunia ini. Bayak peristiwa yang berawal dari adanya tubuh. Kasus-kasus pemerkosaan, KDRT, rasisme dan lain-lain selalu tearah ke tubuh. Hal ini terjadi karena orang memandang tubuh dengan cara yang salah. Orang melihat tubuh sebagai alat sehingga banyak yang menilai berbeda dalam cara pandangnya masing-masing. Ada yang melihat sebagai objek bisnis di mana jika tidak laku terjual maka disingkirkan, atau ketika sudah dianggap tidak optimal dan berkualitas maka dilecehkan atau ketika dinilai tidak sesuai standar maka didiskriminasi.
Diri bukanlah yang diangan-angan belaka. Kita mengerti kedirian kita berkat kebertubuhan kita. Dalam tubuh telanjang anda mengerti diri anda dan dalam diri anda, anda menyadari ketelanjangan tubuh anda. Ketaksadaran akan kedua hal ini juga menimbulkan banyak persoalan. Semisal contoh orang rela merusak tubuh, menambah dan mengurangi tubuh, melukai, melubangi, memotong dan lain-lain agar orang lain menilai dan melihat seperti yang diharapkan. Kepuasan batiniah yang diperoleh dengan cara seperti ini akhirnya menghapus keberadaan tubuh sebagai teologi, sebagai logos, logos tentang Allah yang hadir, tentang keagungaNya. Tanpa disadari manusia menghina keagungan Allah dengan cara-cara seperti ini.
Tubuh sungguh fenomenal. Tubuh telanjang seharusnya mengundang orang untuk melihat dan memperhatikan . Seharusnya ada sesuatu pada tubuh (maksudnya bukan bagian tertentu pada tubuh, tetapi sesuatu untuk keseluruhan tubuh dalam pengeritian teologis) yang mengundang orang untuk melihat lebih dekat, manarik orang untuk memikirkannya. Dan sesuatu itu adalah tubuh yang selalu menyimpan pengorbanan dn pemberian diri yang total. Inkarnasi muncul dalam pembrian tubuh telanjang yang total.
Yohanes Paulus II mengundang kita  untuk merenungkan misteri inkarnasi  ini agar dapat memahami tubuh manusia secara benar. Allah yang menjelma menjadi manusia, sabda Allah yang menyata dalam tubuh menjadi dasar permenungan itu. Sabda Allah yang menjadi daging menghantar tubuh untuk masuk dalam aspek teologis. Tubuh mengambil bagian dalam penjelmaan sabda menjadi manusia.
Ternyata betapa pentingnya tubuh manusia. Melalui tubuh darah-darah menggenangi pelataran Yerusalem, melalui tubuh Dia mengerang kesakitan di atas sebuah bukit, melalui tubuh  mahkota duri bersemayam, melalui tubuh, tubuh-tubuh lain memperoleh ketenangan. Melalui tubuh manusia diselamatkan. Lalu apa makna tubuh ku, tubuh kita. Di zaman ini tubuh manusia hanya mendatangkan persoalan, rasis, KDRT, bisnis,Trafficking dll, yang kemudian akan dipahami sebagai “habis pakai”. Pandanglah tubuh telanjang yang terkulaiai dipangkuan Ibundanya di ujung senja sana dan engkau akan memahami Allah yang menjelma berkat Kebertubuhan itu.

Rabu, 16 April 2014



KEKERASAN TERHADAP AHMADIYAH DAN WAJAH GANDA AGAMA
(Menelisik Kekerasan Atas Nama Agama Dan Memahami Agama Sebagai Sarana Menuju Suatu Substansi Tunggal)


PRASKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Skripsi
Pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
Maumere

OLEH
FLORENSIUS GO’O



SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO MAUMERE
FLORES-NTT





BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
            Akhir-akhir ini keberadaan kelompok Ahmadiyah di Indonesia semakin terancam. Seperti diberitakan media, baik media massa cetak maupun elektronik bahwa kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah semakin marak terjadi di mana-mana. Kelompok Ahmadiyah dinilai mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa sekaligus mengancam keberadaan kelompok agama lain. Mereka dinilai sebagai sumber dari berbagai kekhaosan dalam negeri serta menjadi provokator untuk sekian masalah yang berbau kekerasan. Banyak stempel yang diberikan oleh kelompok agama tertentu dan beberapa ormas ternama di Indonesia kepada mereka. Ada yang menyebutnya sebagai aliran sesat, ada pula yang menilai Ahmadiyah sebagai aliran penoda agama lain dan lain sebagainya. Stempel di atas sebenarnya bernada arogan untuk menegaskan absolutisme dan fundamentalisme agama.
            Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia yang cukup melejit ditanggapi sebagai suatu ancaman bagi kelompok yang sudah merasa mapan dengan identitasnya terkhusus kelompok-kelompok mayoritas. Mereka merasa harus tetap menjadi yang pertama dan teratas. Dr. Otto Gusti pernah menulis:
         Ketika manusia berasumsi dapat merumuskan identitas secara tuntas, itulah awal absolutisme. Fundamentalisme entah dalam wajah agama atau pasar lahir dari rasa pesona akan yang absolut. Musibah kekerasan Cikeusik, Temanggung, Banten dan Solo adalah wajah-wajah absolutisme. Identitas absolut menyingkirkan rasa persatuan dalam kebhinekaan yang menjadi basis normatif tatanan sosial bangsa Indonesia. Ia melukai toleransi dan menghancurkan multikulturalisme yang telah dibangun bertahun-tahun.[1]
Lebih dari itu bahwa tiada takaran tentang yang paling baik atau paling buruk dari ajaran suatu agama, sebab agama berbicara tentang persoalan iman yang tidak dapat dinilai secara matematis. Maka benar apa yang dikatakan Otto Gusti bahwa usaha untuk merumuskan identitas secara tuntas hanya akan melahirkan absolutisme dan fundamentalisme. Kasus Cikeusik di mana jemaat Ahmadiyah dibunuh dan dianiaya merupakan salah satu contoh dari absolutisme dan fundamentalisme yang semu itu.
            Kekerasan yang menimpa Ahmadiyah adalah kekerasan atas nama agama oleh kelompok agama lain. Dan oleh sebagaian besar orang kekerasan ini disebabkan oleh keanekaragaman agama. Kita tahu bahwa Indonesia adalah Negara dengan multiagama. Tapi sebenarnya menurut Harold Coward keanekaragaman dan pluralitas agama menggarisbawahi fungsinya (Agama) sebagai alat atau sarana untuk mencapai yang satu sehingga tidak perlu dipertetangkan.[2] Dan lebih lanjut jika direnungkan maka sesunggunya agama tidak pernah mengizinkan adanya kekerasan. Keanekaragaman agama sebenarnya tidak menjadi alasan untuk saling melecehkan dan menganggap diri sebagai yang terbaik. Tetapi betapa menyedihkan ketika agama terbukti menjadi tameng untuk membenarkan kekerasan. Ini menjadi sebuah pertanyaan mendasar bagi kita, apa hakekat dasar dari agama dan apa yang mesti diwartakan oleh agama.

1.2. TUJUAN PENULISAN
      Ditinjau dari segi formal, maka tulisan ini dibuat untuk memenuhi tuntutan akademis di STFK Ledalero. Tetapi sebenarnya tulisan ini disusun untuk menemukan penyebab adanya tindakan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah oleh kelompok agama dan masyarakat tertentu serta berusaha untuk mengupas tujuan sesungguhnya dari sebuah agama sehingga agama tidak lagi dipahami sebagai yang berwajah ganda, di satu sisi mewartakan ajaran cinta kasih sementara di sisi lain menjadi tameng kekerasan.

1.3. METODE PENULISAN
Tulisan ini dibuat dengan menggunakan metode kepustakaan. Penulis menggunakan sekian buku untuk menjadi dasar ulasan tentang agama dan persoalan seputar kekerasan.

1.4. SISTEMATIKA
Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut: Bab I penulis mengulas tentang latar belakang dari isi tulisan ini. Di sini penulis sedikit memaparkan tentang persoalan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah dan menemukan bahwa agama ternyata ada di balik aksi-aksi anarkis itu. Bab II penulis mengulas tentang kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah Indonesia dan mencoba untuk menemukan akar permasalahan yang menyebabkan timbulnya kekerasan. Selain itu penulis juga mencoba untuk memaparkan peran sesungguhnya dari sebuah agama dan menyingkapkan wajah lain dari agama, yang dalam konteks ini agama dinilai sudah kehilangan hakekat dasarnya. Bab III penulis mengulas tentang fungsi agama sebagai sebuah sarana menuju substansi tunggal yaitu Allah serta menegaskan bahwa Ahmadiyah sebagai salah satu sarana menuju substansi tunggal itu. Bab IV merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran yang diharapkan oleh penulis dari pembaca.


BAB II
KEKERASAN TERHADAP AHMADIYAH DAN WAJAH GANDA AGAMA

2.1. PENGANTAR
Ahmadiyah adalah salah satu kelompok dalam agama Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam pada tahun 1835 di Qadian, India. Meskipun spiritualitas Ahmadiyah tidak jauh menyimpang namun tetap saja oleh sebagian besar orang kelompok ini tidak diakui sebagai bagian dari Islam. Disinyalir bahwa ada sekian ajaran dalam Ahmadiyah yang bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam Islam. Meskipun demikian keberadaan Ahmadiyah tetap eksis hingga dewasa ini, bahkan kelompok ini telah menetap dan berkembang di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu sejak tahun 1925 hingga kini. Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia menyisahkan sekian masalah. Beberapa tahun terakhir ini Ahmadiyah terus dikejar-kejar. Mereka dinilai sebagai kelompok sesat yang melakukan pengajaran sekaligus penodaan terhadap kelompok lain. Jika pada awalnya mereka dibiarkan eksis dengan alasan kebebasan beragama namun kini mereka dituntut untuk keluar karena dituduh melakukan tindakan penodaan. Aksi-aksi anarkis berupa kekerasan fisik dan mental mewarnai perjalanan Ahmadiyah di Indonesia.

2.2. SEKILAS TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
Kelompok Ahmadiyah yang telah berkembang di India kemudian sampai juga di Indonesia. Misi Jemaat Ahmadiyah pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1925. Berawal dari sikap ingin-tahu beberapa pemuda Indonesia yang berasal dari pesantren/madrasah Thawalib, Padang Panjang, Sumatra Barat maka berangkatlah tiga orang santri dari pesantren tersebut atas nama Zaini Dahlan, Abu Bakar Ayyub, dan Ahmad Nuruddin. Mereka sampai di Lahore (masa itu masih India, kini masuk wilayah Pakistan) pada tahun 1923. Setelah sekian lama berdialog dengan petinggi jemaat Ahmadiyah akhirnya mereka mengajukan permohonan agar dikirim utusan Ahmadiyah ke Indonesia. Maka dikirimlah utusan pertama Jemaat Ahmadiyah ke Indonesia pada tahun 1925. Yaitu Hz.Mlv.Rahmat Ali. Pertama-tama beliau masuk dari Aceh ke Tapaktuan. Tahun 1926 beliau menuju Padang. Dan tahun 1929 Jemaat Ahmadiyah sudah berdiri di Padang. Pada tahun 1930 beliau menuju Batavia, dan tahun 1932 Jemaat Ahmadiyah pun berdiri di Batavia. Dari situ berkembanglah jemaat Ahmadiyah ke berbagai pelosok tanah air.[3] Hingga kini ada dua kelompok Ahmadiyah di Indonesia yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Berikut ini adalah dua kelompok Ahmadiyah di Indonesia[4],
1.      Ahmadiyah Lahore
Ahmadiyah lahore atau disebut pula Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam dipimpin oleh Maulawi Muhammad Ali dan berpusat di Lahore. Aliran Ahmadiyah lahore menganggap Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai mujaddid dan mereka masih mengikuti ajaran- ajaran Islam yanng dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W.
2.      Ahmadiyah Qadian
Aliran Ahmadiyah Qadian mempunyai kepercayaan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Ahmadiyah Qadian memiliki kitab suci, tempat haji dan perhitungan tahun, bulan, dan tanggal yang berbeda dengan ajaran Islam. Kitab suci Ahmadiyah Qadian adalah Tadzkirah, lebih tebal daripada Al-Qur’an, tetapi isinya serupa dengan yang ada di Al-Qur’an. Pengikut Ahmadiyah Qadian meyakini 26 nabi dan 5 kitab suci, yaitu 25 Nabi dan Rasul yang umat Islam yakini ditambah Mirza Ghulam Ahmad. Sedangkan kitab sucinya yang diyakini yaitu 4 kitab suci yang diyakini umat Islam ditambah kitab tadzkirah milik aliran ahmadiyah qadian.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai kelompok Ahmadiyah di Indonesia. Hingga saat ini kelompok Ahmadiyah masih bertahan di Indonesia kendati beberapa tahun terakhir ini terjadi penjegalan dan kekerasan yang menimpa mereka.

2.3. MEMAHAMI MAKNA KEKERASAN
Ada sekian pengertian mengenai kekerasan. Secara umum psikiater internasional, Terry E. Lawson menggolongkan kekerasan ke dalam empat jenis yaitu kekerasan emosional, kekerasan verbal, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Yang Pertama Kekerasan emosianal, berhubungan dengan pengabaian terhadap tuntutan-tuntutan emosional misalnya ayah yang mengabaikan permintaan anak-anak. Yang Kedua Kekerasan verbal, berarti kekerasan yang terungkap lewat kata-kata, misalnya berkata kasar kepada orang lain seperti “kamu bodoh” atau “dasar anak cengeng”. Yang Ketiga kekerasan fisik, adalah kekerasan dengan fisik terhadap fisik orang lain, miasalnya dengan memukul, menjewer, mencubit dan membunuh. Dan yang terakhir adalah kekerasan Seksual yaitu kekerasan dengan mengeksplotasikan hal-hal seksual seperti pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur.
Di sisi lain kita mengenal adanya istilah kekerasan langsung dan kekerasan tidak langsung. Kekerasan langsung adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan secara langsung terhadap sautu individu atau kelompok lain tampa melalui perantara, misalnya membunuh, memperkosa dan menganiaya. Sementara kekerasan tidak langsung yaitu kekerasan yang dilakukan terhadap pihak lain dengan menggunakan sarana-sarana tertentu seperti mengekang, mengintimidasi, memfitnah dan mengurangi hak-hak orang lain.

2.4. PENYEBAB KEKERASAN TERHADAP KELOMPOK AHMADIYAH
Tindakan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah meliputi dua bentuk kekerasan yaitu kekerasan langsung dan kekerasan tidak langsung. Dan setiap kekerasan tidak langsung berpotensi menghadirkan kekerasan langsung. Pembunuhan dan penganiayaan terhadap kelompok Ahmadiyah yang terjadi di Temanggung beberapa bulan silam adalah bagian dari kekerasan secara langsung. Sementara aksi-aksi teror, intimidasi, pelarangan, termasuk Surat Keputusan Bersama Mentri Dalam Negri, Mentri Agama dan Jaksa Agung yang melarang kegiatan Ahmadiyah adalah salah satu bentuk kekerasan tidak langsung yang menyulut terjadinya kekerasan langsung atau melegitimasi kekerasan-kekerasan fisik.
Tentu saja kekerasan yang menimpa Ahmadiyah bukanlah musibah yang turun begitu saja dari langit tampa ada sebab musabahnya. Sehingga baik kekerasan secara langsung ataupun tidak langsung yang menimpa Ahmadiyah pasti berpenyebab. Saya melihat bahwa ada sekian hal yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah. Yang pertama adalah kecurigaan dari pihak lain khusunya kelompok yang merasa dirinya terancam oleh karena kehadiran Ahmadiyah. Stempel “sesat” yang diberikan kepada Ahmadiyah muncul dari rasa curiga yang berlebihan. Mereka secara negatif memandang kehadiran Ahmadiyah sebagai kambing hitam yang memecah belah kehidupan bersama. Kecurigaan berlebihan itu kemudian menghantar mereka untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah. Kecurigaan yang sudah tertanam dalam hati akan menghadirkan tuduhan bahwa kelompok lain telah melakukan kecurangan dalam menyebarkan suatu misi (Ahmadiya dituduh menyebarkan misi secara salah) sehingga menghadirkan peluang bagi mereka untuk bertindak reaksioner seperti dengan kekerasan.[5] SKB adalah salah satu contoh dari tindakan kekerasan tidak langsung dari pemerintah terhadap Ahmadiyah akibat dari kecurigaan berlebihan. Yang kedua adalah pemahaman literal parsial terhadap kelompok Ahmadiyah. Pemahaman yang tidak utuh terhadap inti ajaran agama baik agama sendiri maupun agama orang lain adalah hal lain yang menyebabkan timbulnya kekerasan. Setiap agama pada dasarnya mengajarkan cinta kasih dan kedamaian. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam setiap agama ada teks-teks tertentu yang mengarah ke hal negatif. Oleh karena itu apa yang tertulis tidak boleh ditafsir dan dipraktekkan secara lurus. Hemat saya kekerasan terhadap Ahmadiyah adalah akibat dari penafsiran yang keliru terhadap teks. Ketika Ahmadiyah dinilai menyimpang mereka kemudian ditempatkan sebagai kaum kafir, dan orang kafir itu mesti dilawan. Yang ketiga adalah sikap arogansi dan eksklusivitas dalam beragama. Ketertutupan selalu terarah pada absolutisme dan pemegang kebenaran tunggal. Apa yang terjadi pada Ahmadiyah adalah akibat dari absolutisme dan eksklusivitas kelompok lain. Sesuatu yang berlainan atau tidak sesuai dengan yang diharapakan mesti diberantas. Ahmadiyah dianggap sebagai kelompok yang keluar dari kemapanan karena mereka dengan cara tesendiri berusaha untuk memulai sesuatu yang sedikit berbeda. Eksklusivitas mengartika kebenaran, kesalehan dan kesempurnaan religiositas sebagai milik pribadi sehingga kelompok lain adalah sesat dan wajib dibunuh. Sehingga ujung-ujungnya adalah penggunaan kekerasan.[6] Maka tatkala Ahmadiyah menampilkan caranya sendiri banyak orang atau kelompok merasa terancam. Yang absolut mulai terkikis dan eksklusivitas mulai ditantang. Dari sini timbulah keinginan untuk mempertahankan absolutisme itu, salah satunya dengan melakukan kekerasan terhadap pihak yang dianggap sebagai pengganggu kemapanan yaitu Ahmadiyah.
Tiga hal di atas merupakan akar yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap Ahmadiyah baik itu kekerasan secara langsung berupa kekerasan fisik maupun kekerasan tidak langsung yang menyerang mental Ahmadiyah. Pada bagian berikutnya saya mencoba untuk mengulas jalan keluar yang bisa mengatasi tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah.

2.5. WAJAH AGAMA YANG SESUNGGUHNYA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,   agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Sementara dalam bahasa Sangsekerta kata agama berasal dari kata a (tidak) dan gama (kacau). Jadi agama adalah sesuatu yang tidak menyebabkan kekacauan. Pengertian agama dalam bahasa Sangsekerta ini mirip dengan kata agama dalam bahasa latin yaitu religio. Religio berasal dari kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Mengikat di sini maksudnya adalah dengan ber-religi maka seseorang akan mengikat dirinya kepada tuhan. Dan hemat saya mengikat diri dengan Tuhan menjauhkan manusia dari kekacauan atau gama. Berdasarkan pengertian agama di atas maka dapat disimpulkan bahwa agama pada dasarnya selalu terarah pada kebaikan. Di sini kita menemukan bahwa wajah agama yang sesunguhnya adalah wajah kebaikan.
Dasar yang tidak bisa terbantahkan dari setiap agama adalah dasar cinta kasih. Setiap agama selalu mengajarkan dan mewartakan cinta kasih. John David Caputo melihat makna agama dari dua sisi pendekatan yang berbeda, yakni agama sebagai wadah cinta kasih Tuhan dan agama sebagai wadah cinta kasih manusia tak bersyarat.[7] Jadi dalam agama sebenarnya cinta kasih Tuhan dan Mansuia ditampilkan atau dipertemukan. Oleh karena itu selain wajah kenaikan agama sebenarnya menampilkan wajah cinta kasih dan perdamaian.
Kebaikan dan cinta kasih adalah wajah agama sesungguhnya yang tidak bisa terpisahkan dari agama mana pun. Dan dua hal ini menjadi hakekat dasar dalam setiap agama. Meski demikian dewasa ini agama sering menampilkan diri dalam wajah yang lain, suatu wajah yang sungguh berbeda dari wajah sebenarnya. Penyebab timbulnya kekerasan atas nama agama terhadap Ahmadiyah oleh orang dari kelompok agama tertentu membuat kita bertanya lagi tentang agama dan tujuannya. Kekerasan adalah kata yang kurang sepadan jika dikaitkan dengan agama.

2.6. KEKERASAN TERHADAP AHMADIYAH: WAJAH LAIN DARI AGAMA
Peristiwa Cikeusik di mana tiga orang anggota jemaat Ahmadiyah dibunuh dan beberapa peristiwa lainnya mau menegaskan bahwa agama yang diperjuangkan manusia dewasa ini adalah agama berwajah kematian. Peristiwa yang menimpa Ahmadiyah adalah peristiwa yang dilatarbelakangi oleh masalah agama. Ahmadiyah dituduh sebagai kelompok yang menodai keberadaan suatu agama, mereka dicap sebagai kelompok yang mewartakan pengajaran sesat. Tindakan teror, intimidasi dan pembunuhan sangat tidak menunjukkan wajah dari agama yang sesungguhnya. Kebaikan dan cinta kasih diingkari, tidak ada dialog yang bisa dipakai untuk mempertemukan jika terjadi perbedaan pendapat dan ideologi. Nafsu dan kebuasan telah merasuk umat beragama untuk membunuh sesamanya. Pertanyaan yang muncul adalah apa sesungguhnya yang diperjuangkan oleh agama. Kita menjadi ragu dengan wajah cinta kasih dari agama di tengah realitas yang sadis seperti ini. Kekerasan yang menimpa kelompok Ahmadiyah adalah wajah lain dari agama.
Pemahaman yang cerdas tengan agama dan hakekatnya menjadi cara terbaik untuk mengembalikan agama pada wajah yang sesungguhnya. Biarkan agama bebas mengekspresikan keindahan wajah kebaikan dan cinta kasihnya seraya menaggalkan topeng keebencian, dendam dan saling curiga.



BAB III
AHMADIYAH: SARANA MENUJU SUBSTANSI TUNGGAL

3.1. PENGANTAR
Pada bab ini penulis akan menjelaskan hakekat dasar dari agama dan perannya sebagai sarana untuk mencapai yang Tunggal. Bahwa dalam setiap agama terdapat satu substansi tunggal yang merupakan tujuan dari semua umat beriman. Ahmadiyah merupakan salah satu sarana yang bisa dipakai untuk mencapai yang tunggal itu sehingga tidak ada alasan bagi pihak mana pun untuk menghentikan setiap usaha dan kegiatan yang sudah dan sedang mereka jalankan saat ini.

3.2. AGAMA SEBAGAI SARANA
Sebelum memahami agama secara benar ada baiknya kita menyadari keberadaan kita di tengah  realitas pluralisme. Ada sekian banyak cara yang sudah ditempuh dalam meminimalisir kekerasan yang terjadi termasuk dialog antar agama. Namun tidak ada perubahan signifikan yang tampak dari usaha-usaha itu. Abd A’la menulis demikian,
            “Dalam menghadapi kelompok agama yang berpotensi radikal dan menjadikan agama sebagai alat untuk menyerang langkah awal yang perlu dikembangkan adalah penumbuhan kesadaran diri mengenai realitas pluralisme kehidupan. Adanya kesadaran ini menjadi landasan cukup berarti bagi terciptanya dialog yang benar-benar tumbuh dari kebutuhan mereka sendiri, yang pada gilirannya akan memberi pelaung untuk bersikap saling terbuka, jujur dan mau memahami umat dari agama lain.[8]
Sikap ini menjadi sangat penting ditengah realitas bangsa Indonesia yang plural ini. Ada begitu banyak agama di Indonesia yang turut mempengaruhi kehidupan sosial. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa agama bisa berwajah ganda ketika orang menyertakan kepentingan tertentu dalam beragama. Agama bisa membawa kedamaian tetapi tak jarang menghadirkan pertikaian, sementara hampir semua umat beragama memahami fungsi agama sebagai penghubung antara manusia dengan Allah.
            Sebagai penghubung maka sebenarnya agama tidaklah lebih dari sekedar sarana atau alat. Lebih lanjut Harold Coward menegaskan bahwa keanekaragaman dan pluralitas agama menggarisbawahi fungsinya sebagai alat. Wahyu dan doktrin adalah sarana untuk mencapai yang satu.[9] Karena sebagai alat, yang ada dalam agama-agama adalah kumpulan partikular sarana yang digunakan sebagai alat yang dengannya yang satu dapat dicapai.[10] Dengan statusnya sebagai sarana maka agama sebenarnya tidak perlu dibela apalagi sampai mengorbankan nyawa. Kita semua seharusnya menyadari bahwa di hadapan Allah, agama-agama sebagai sarana adalah sama. Dan kebenaran agama pada hakikatnya berawal dari sumber yang satu. Tidak ada yang lebih baik dari yang lain, semuanya adalah jembatan menuju tujuan yang satu. Sementara pluralisme keagamaan dapat dipahami dengan paling baik dalam kaitan dengan sebuah logika yang melihat satu yang berwujud banyak-realitas transenden yang menggejala dalam bermacam-macam agama.[11]

3.3. AHMADIYAH MENGARAH PADA SUBSTANSI TUNGGAL
Secara substantif E.B. Tylor mengartikan agama sebagai kepercayaan terhadap wujud tertinggi.[12] Jadi apapun nama dan bentuknya, agama hanyalah sarana yang selalu terarah menuju wujud tertinggi dan tunggal itu. Jika agama-agama adalah sarana yang tidak perlu diperdebatkan karena selalu mengarah pada Satu Wujud tertinggi lalu mengapa jemaat Ahmadiyah mesti dilarang, diteror, dan dibunuh? Ahmadiyah adalah salah satu dari sekian sarana yang dipakai umat manusia untuk mencapai yang tunggal itu. Kita menggunakan pendekatan filsafat Perennial untuk melihat posisi Ahmadiyah sebagai sarana menuju yang tunggal. Dalam filsafat Pereninial satu hal yang paling ditekankan adalah hal yang paling substansial dari suatu agama yaitu wujud tertinggi dan semua agama adalah sama menuju satu wujud yang mutlak itu.[13] Fenomena kekerasan terhadap Ahmadiyah oleh sekelompok orang menegaskan bahwa orang belum memahami substansi dari usaha Ahmadiyah dan melihat Ahmadiyah secara parsial. Padahal Ahmadiyah adalah bagian dari sarana yang terarah pada yang tunggal dan mutlak itu.


BAB IV
PENUTUP


4.1. KESIMPULAN
Agama pada hakikatnya mengajarkan kebaikan dan cinta kasih baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Tugas mengajarnya itu menempatkan agama sebagai sarana atau alat yang dipakai manusia untuk berjumpa dengan wujud tertinggi yang diimani. Sementara pluralisme agama menegaskan bahwa ada sekian banyak cara yang dapat dipakai oleh manusia untuk mencapai yang tunggal itu. Dan dihadapan Allah sarana-sarana itu adalah sama dan setara.
Ahmadiyah adalah salah satu sarana yang dipakai untuk mencapai yang tunggal itu. Sehingga cara mereka harus dihargai dan dihormati. Tetapi yang terjadi saat ini bertolak belakang dengan apa yang diharapkan. Sehingga fenomena kekerasan atas nama agama yang menimpa Ahmadiyah pada prisnsipnya tidak bisa dibenarkan, sebab Ahmadiyah adalah salah satu dari sekian cara untuk mencapai yang tunggal. Dan kekerasan terhadap Ahmadiyah atas nama agama harus dilawan sebab mengingkari hakekat dari agama yang sesungguhnya yaitu cinta kasih dan kebaikan.

4.2. SARAN
Penulis menyadari bahwa tulisan ini syarat akan kekurangan dan jauh dari sempurna, untuk itu dari hati yang paling dalam penulis sangat mengharapkan aadnya kerja sama yang baik dari pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang membangun agar kita semua dapat memahami secara tepat keseluruhan isi tulisan ini.



DAFTAR PUSTAKA


KAMUS
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-4, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

BUKU-BUKU
Achmad, Nur (ed.).  Pluralitas Agama: Kerukunan Dalam Keragaman. Jakarta: Kompas, 2001.
Coward, Harold. Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Kewuel, Hipolitus. (ed.).  Mengolah Pluralitas Agama. Malang: Serva Minora, 2011.
Raho, Bernard. Agama Dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Obor, 2013.

Saputra, Riki. Tuhan Semua Agama. Yogyakarta: Lima, 2012.

SF, Qamaruddin. (ed.).  Melampaui Dialog Agama. Jakarta: Kompas, 2002.

JURNAL
Gusti, Otto. “Pancasila Sebagai Identitas Bangsa” . Dalam VOX  Seri 56 /01/2012.

SUMBER INTERNET
MI dan  Lubis, Syarif Ahmad.  “Latar Belakang Berdirinya Jemaat Ahmadiyah”,  http://www.alislam.org/indonesia/latar.html#Ahmadiyah, diakses tanggal 1 Oktober 2013.

Kamalia, “Perbedaan Dua Sekte Aliran Ahmadiyah”, http://uiita.wordpress.com/2012/11/12/perbedaan-2-sekte-aliran-ahmadiyah/, diakses tanggal 7 Oktober 2013.




[1] Otto Gusti, “Pancasila Sebagai Identitas Bangsa” dalam VOX  Seri 56 /01/2012,  p. 14.
[2] Harold Coward, Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1989), p. 170.
[3] MI dan  Ir.Syarif Ahmad Lubis MSc, “Latar Belakang Berdirinya Jemaat Ahmadiyah”,  (http://www.alislam.org/indonesia/latar.html#Ahmadiyah), diakses tanggal 1 Oktober 2013.
[4] Kamalia, “Perbedaan Dua Sekte Aliran Ahmadiyah”, (http://uiita.wordpress.com/2012/11/12/perbedaan-2-sekte-aliran-ahmadiyah/), diakses tanggal 7 Oktober 2013.
[5] Qamaruddin. SF (edit.), Melampaui Dialog Agama (Jakarta: Kompas, 2002), p. 17.
[6] Ibid., p. 132.
[7] Hipolitus Kewuel (edit.), Mengolah Pluralitas Agama (Malang: Serva Minora, 2011), p. 26.
[8] Qamaruddin SF, op.cit., p. 18.
[9] Harold Coward, op.cit., p. 170.
[10] Nur Achmad (edit.), Pluralitas Agama: Kerukunan Dalam Keragaman (Jakarta: Kompas, 2001), p. 80.
[11] Harold Coward, op.cit., p. 169.
[12] Bernard Raho, Agama Dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Obor, 2013), p. 6.
[13] Riki Saputra, Tuhan Semua Agama (Yogyakarta: Lima, 2012), p. 100.