KEKERASAN TERHADAP AHMADIYAH DAN WAJAH GANDA AGAMA
(Menelisik
Kekerasan Atas Nama Agama Dan Memahami Agama Sebagai Sarana Menuju Suatu
Substansi Tunggal)
PRASKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat
Untuk Skripsi
Pada Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik Ledalero
Maumere
OLEH
FLORENSIUS GO’O
SEKOLAH
TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO MAUMERE
FLORES-NTT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR
BELAKANG MASALAH
Akhir-akhir ini keberadaan kelompok Ahmadiyah di Indonesia semakin
terancam. Seperti diberitakan media, baik media massa cetak maupun elektronik
bahwa kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah semakin marak terjadi di mana-mana.
Kelompok Ahmadiyah dinilai mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa sekaligus
mengancam keberadaan kelompok agama lain. Mereka dinilai sebagai sumber dari
berbagai kekhaosan dalam negeri serta menjadi provokator untuk sekian masalah
yang berbau kekerasan. Banyak stempel yang diberikan oleh kelompok agama
tertentu dan beberapa ormas ternama di Indonesia kepada mereka. Ada yang
menyebutnya sebagai aliran sesat, ada pula yang menilai Ahmadiyah sebagai
aliran penoda agama lain dan lain sebagainya. Stempel di atas sebenarnya
bernada arogan untuk menegaskan absolutisme dan fundamentalisme agama.
Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia yang
cukup melejit ditanggapi sebagai suatu ancaman bagi kelompok yang sudah merasa
mapan dengan identitasnya terkhusus kelompok-kelompok mayoritas. Mereka merasa
harus tetap menjadi yang pertama dan teratas. Dr. Otto Gusti pernah menulis:
Ketika manusia
berasumsi dapat merumuskan identitas secara tuntas, itulah awal absolutisme.
Fundamentalisme entah dalam wajah agama atau pasar lahir dari rasa pesona akan
yang absolut. Musibah kekerasan Cikeusik, Temanggung, Banten dan Solo adalah
wajah-wajah absolutisme. Identitas absolut menyingkirkan rasa
persatuan dalam kebhinekaan yang menjadi basis normatif tatanan sosial
bangsa Indonesia. Ia melukai toleransi dan menghancurkan multikulturalisme yang
telah dibangun bertahun-tahun.
Lebih dari itu bahwa tiada takaran tentang yang paling baik atau paling
buruk dari ajaran suatu agama, sebab agama berbicara tentang persoalan iman
yang tidak dapat dinilai secara matematis. Maka benar apa yang dikatakan Otto
Gusti bahwa usaha untuk merumuskan identitas secara tuntas hanya akan
melahirkan absolutisme dan fundamentalisme. Kasus Cikeusik di mana jemaat
Ahmadiyah dibunuh dan dianiaya merupakan salah satu contoh dari absolutisme dan
fundamentalisme yang semu itu.
Kekerasan yang menimpa Ahmadiyah
adalah kekerasan atas nama agama oleh kelompok agama lain. Dan oleh sebagaian
besar orang kekerasan ini disebabkan oleh keanekaragaman agama. Kita tahu bahwa
Indonesia adalah Negara dengan multiagama. Tapi sebenarnya menurut Harold
Coward keanekaragaman dan pluralitas agama menggarisbawahi fungsinya (Agama) sebagai
alat atau sarana untuk mencapai yang satu sehingga tidak perlu dipertetangkan.
Dan lebih lanjut jika direnungkan maka sesunggunya agama tidak pernah
mengizinkan adanya kekerasan. Keanekaragaman agama sebenarnya tidak menjadi
alasan untuk saling melecehkan dan menganggap diri sebagai yang terbaik. Tetapi
betapa menyedihkan ketika agama terbukti menjadi tameng untuk membenarkan
kekerasan. Ini menjadi sebuah pertanyaan mendasar bagi kita, apa hakekat dasar
dari agama dan apa yang mesti diwartakan oleh agama.
1.2. TUJUAN
PENULISAN
Ditinjau
dari segi formal, maka tulisan ini dibuat untuk memenuhi tuntutan akademis di
STFK Ledalero. Tetapi sebenarnya tulisan ini disusun untuk menemukan penyebab
adanya tindakan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah oleh kelompok agama dan
masyarakat tertentu serta berusaha untuk mengupas tujuan sesungguhnya dari
sebuah agama sehingga agama tidak lagi dipahami sebagai yang berwajah ganda, di
satu sisi mewartakan ajaran cinta kasih sementara di sisi lain menjadi tameng
kekerasan.
1.3. METODE
PENULISAN
Tulisan
ini dibuat dengan menggunakan metode kepustakaan. Penulis menggunakan sekian
buku untuk menjadi dasar ulasan tentang agama dan persoalan seputar kekerasan.
1.4.
SISTEMATIKA
Adapun
sistematika penulisan adalah sebagai berikut: Bab I penulis mengulas tentang
latar belakang dari isi tulisan ini. Di sini penulis sedikit memaparkan tentang
persoalan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah dan menemukan bahwa agama ternyata
ada di balik aksi-aksi anarkis itu. Bab II penulis mengulas tentang kekerasan
terhadap jemaat Ahmadiyah Indonesia dan mencoba untuk menemukan akar
permasalahan yang menyebabkan timbulnya kekerasan. Selain itu penulis juga
mencoba untuk memaparkan peran sesungguhnya dari sebuah agama dan menyingkapkan
wajah lain dari agama, yang dalam konteks ini agama dinilai sudah kehilangan
hakekat dasarnya. Bab III penulis mengulas tentang fungsi agama sebagai sebuah
sarana menuju substansi tunggal yaitu Allah serta menegaskan bahwa Ahmadiyah
sebagai salah satu sarana menuju substansi tunggal itu. Bab IV merupakan
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran yang diharapkan oleh penulis
dari pembaca.
BAB II
KEKERASAN TERHADAP AHMADIYAH DAN WAJAH GANDA AGAMA
2.1. PENGANTAR
Ahmadiyah
adalah salah satu kelompok dalam agama Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam
pada tahun 1835 di Qadian, India. Meskipun spiritualitas Ahmadiyah tidak jauh
menyimpang namun tetap saja oleh sebagian besar orang kelompok ini tidak diakui
sebagai bagian dari Islam. Disinyalir bahwa ada sekian ajaran dalam Ahmadiyah
yang bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam Islam. Meskipun demikian
keberadaan Ahmadiyah tetap eksis hingga dewasa ini, bahkan kelompok ini telah
menetap dan berkembang di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu sejak
tahun 1925 hingga kini. Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia menyisahkan sekian
masalah. Beberapa tahun terakhir ini Ahmadiyah terus dikejar-kejar. Mereka
dinilai sebagai kelompok sesat yang melakukan pengajaran sekaligus penodaan
terhadap kelompok lain. Jika pada awalnya mereka dibiarkan eksis dengan alasan
kebebasan beragama namun kini mereka dituntut untuk keluar karena dituduh
melakukan tindakan penodaan. Aksi-aksi anarkis berupa kekerasan fisik dan
mental mewarnai perjalanan Ahmadiyah di Indonesia.
2.2. SEKILAS
TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
Kelompok
Ahmadiyah yang telah berkembang di India kemudian sampai juga di Indonesia. Misi Jemaat
Ahmadiyah pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1925. Berawal dari sikap
ingin-tahu beberapa pemuda Indonesia yang berasal dari pesantren/madrasah
Thawalib, Padang Panjang, Sumatra Barat maka berangkatlah tiga orang santri
dari pesantren tersebut atas nama Zaini Dahlan, Abu Bakar Ayyub, dan Ahmad
Nuruddin. Mereka sampai di Lahore (masa itu masih India, kini masuk wilayah
Pakistan) pada tahun 1923. Setelah sekian lama berdialog dengan petinggi jemaat
Ahmadiyah akhirnya mereka mengajukan permohonan agar dikirim utusan Ahmadiyah
ke Indonesia. Maka dikirimlah utusan pertama Jemaat Ahmadiyah ke Indonesia pada
tahun 1925. Yaitu Hz.Mlv.Rahmat Ali. Pertama-tama beliau masuk dari Aceh ke
Tapaktuan. Tahun 1926 beliau menuju Padang. Dan tahun 1929 Jemaat Ahmadiyah
sudah berdiri di Padang. Pada tahun 1930 beliau menuju Batavia, dan tahun 1932
Jemaat Ahmadiyah pun berdiri di Batavia. Dari situ berkembanglah jemaat
Ahmadiyah ke berbagai pelosok tanah air. Hingga kini ada
dua kelompok Ahmadiyah di Indonesia yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah
Lahore. Berikut ini adalah dua kelompok Ahmadiyah di Indonesia,
1. Ahmadiyah Lahore
Ahmadiyah lahore atau disebut pula
Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam dipimpin oleh Maulawi Muhammad Ali dan berpusat
di Lahore. Aliran Ahmadiyah lahore menganggap Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai
mujaddid dan mereka masih mengikuti ajaran- ajaran Islam yanng dibawa oleh Nabi
Muhammad S.A.W.
2. Ahmadiyah Qadian
Aliran Ahmadiyah Qadian mempunyai
kepercayaan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Ahmadiyah Qadian memiliki
kitab suci, tempat haji dan perhitungan tahun, bulan, dan tanggal yang berbeda
dengan ajaran Islam. Kitab suci Ahmadiyah Qadian adalah Tadzkirah, lebih tebal
daripada Al-Qur’an, tetapi isinya serupa dengan yang ada di Al-Qur’an. Pengikut
Ahmadiyah Qadian meyakini 26 nabi dan 5 kitab suci, yaitu 25 Nabi dan Rasul
yang umat Islam yakini ditambah Mirza Ghulam Ahmad. Sedangkan kitab sucinya
yang diyakini yaitu 4 kitab suci yang diyakini umat Islam ditambah kitab
tadzkirah milik aliran ahmadiyah qadian.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai
kelompok Ahmadiyah di Indonesia. Hingga saat ini kelompok Ahmadiyah masih
bertahan di Indonesia kendati beberapa tahun terakhir ini terjadi penjegalan
dan kekerasan yang menimpa mereka.
2.3. MEMAHAMI
MAKNA KEKERASAN
Ada
sekian pengertian mengenai kekerasan. Secara umum psikiater internasional,
Terry E. Lawson menggolongkan kekerasan ke dalam empat jenis yaitu kekerasan
emosional, kekerasan verbal, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Yang Pertama Kekerasan emosianal,
berhubungan dengan pengabaian terhadap tuntutan-tuntutan emosional misalnya
ayah yang mengabaikan permintaan anak-anak. Yang
Kedua Kekerasan verbal, berarti kekerasan yang terungkap lewat kata-kata,
misalnya berkata kasar kepada orang lain seperti “kamu bodoh” atau “dasar anak
cengeng”. Yang Ketiga kekerasan fisik,
adalah kekerasan dengan fisik terhadap fisik orang lain, miasalnya dengan
memukul, menjewer, mencubit dan membunuh. Dan yang terakhir adalah kekerasan
Seksual yaitu kekerasan dengan mengeksplotasikan hal-hal seksual seperti
pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur.
Di
sisi lain kita mengenal adanya istilah kekerasan langsung dan kekerasan tidak
langsung. Kekerasan langsung adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan
secara langsung terhadap sautu individu atau kelompok lain tampa melalui
perantara, misalnya membunuh, memperkosa dan menganiaya. Sementara kekerasan
tidak langsung yaitu kekerasan yang dilakukan terhadap pihak lain dengan
menggunakan sarana-sarana tertentu seperti mengekang, mengintimidasi, memfitnah
dan mengurangi hak-hak orang lain.
2.4. PENYEBAB
KEKERASAN TERHADAP KELOMPOK AHMADIYAH
Tindakan
kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah meliputi dua bentuk kekerasan yaitu
kekerasan langsung dan kekerasan tidak langsung. Dan setiap kekerasan tidak
langsung berpotensi menghadirkan kekerasan langsung. Pembunuhan dan penganiayaan
terhadap kelompok Ahmadiyah yang terjadi di Temanggung beberapa bulan silam
adalah bagian dari kekerasan secara langsung. Sementara aksi-aksi teror,
intimidasi, pelarangan, termasuk Surat Keputusan Bersama Mentri Dalam Negri,
Mentri Agama dan Jaksa Agung yang melarang kegiatan Ahmadiyah adalah salah satu
bentuk kekerasan tidak langsung yang menyulut terjadinya kekerasan langsung
atau melegitimasi kekerasan-kekerasan fisik.
Tentu
saja kekerasan yang menimpa Ahmadiyah bukanlah musibah yang turun begitu saja
dari langit tampa ada sebab musabahnya. Sehingga baik kekerasan secara langsung
ataupun tidak langsung yang menimpa Ahmadiyah pasti berpenyebab. Saya melihat
bahwa ada sekian hal yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan terhadap
jemaat Ahmadiyah. Yang pertama adalah kecurigaan dari pihak lain khusunya
kelompok yang merasa dirinya terancam oleh karena kehadiran Ahmadiyah. Stempel
“sesat” yang diberikan kepada Ahmadiyah muncul dari rasa curiga yang berlebihan.
Mereka secara negatif memandang kehadiran Ahmadiyah sebagai kambing hitam yang
memecah belah kehidupan bersama. Kecurigaan berlebihan itu kemudian menghantar
mereka untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah. Kecurigaan yang
sudah tertanam dalam hati akan menghadirkan tuduhan bahwa kelompok lain telah
melakukan kecurangan dalam menyebarkan suatu misi (Ahmadiya dituduh menyebarkan
misi secara salah) sehingga menghadirkan peluang bagi mereka untuk bertindak
reaksioner seperti dengan kekerasan.
SKB adalah salah satu contoh dari tindakan kekerasan tidak langsung dari
pemerintah terhadap Ahmadiyah akibat dari kecurigaan berlebihan. Yang kedua
adalah pemahaman literal parsial terhadap kelompok Ahmadiyah. Pemahaman yang
tidak utuh terhadap inti ajaran agama baik agama sendiri maupun agama orang
lain adalah hal lain yang menyebabkan timbulnya kekerasan. Setiap agama pada
dasarnya mengajarkan cinta kasih dan kedamaian. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam
setiap agama ada teks-teks tertentu yang mengarah ke hal negatif. Oleh karena
itu apa yang tertulis tidak boleh ditafsir dan dipraktekkan secara lurus. Hemat
saya kekerasan terhadap Ahmadiyah adalah akibat dari penafsiran yang keliru
terhadap teks. Ketika Ahmadiyah dinilai menyimpang mereka kemudian ditempatkan
sebagai kaum kafir, dan orang kafir itu mesti dilawan. Yang ketiga adalah sikap
arogansi dan eksklusivitas dalam beragama. Ketertutupan selalu terarah pada
absolutisme dan pemegang kebenaran tunggal. Apa yang terjadi pada Ahmadiyah
adalah akibat dari absolutisme dan eksklusivitas kelompok lain. Sesuatu yang
berlainan atau tidak sesuai dengan yang diharapakan mesti diberantas. Ahmadiyah
dianggap sebagai kelompok yang keluar dari kemapanan karena mereka dengan cara
tesendiri berusaha untuk memulai sesuatu yang sedikit berbeda. Eksklusivitas
mengartika kebenaran, kesalehan dan kesempurnaan religiositas sebagai milik
pribadi sehingga kelompok lain adalah sesat dan wajib dibunuh. Sehingga
ujung-ujungnya adalah penggunaan kekerasan.
Maka tatkala Ahmadiyah menampilkan caranya sendiri banyak orang atau kelompok
merasa terancam. Yang absolut mulai terkikis dan eksklusivitas mulai ditantang.
Dari sini timbulah keinginan untuk mempertahankan absolutisme itu, salah
satunya dengan melakukan kekerasan terhadap pihak yang dianggap sebagai
pengganggu kemapanan yaitu Ahmadiyah.
Tiga
hal di atas merupakan akar yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap
Ahmadiyah baik itu kekerasan secara langsung berupa kekerasan fisik maupun
kekerasan tidak langsung yang menyerang mental Ahmadiyah. Pada bagian berikutnya
saya mencoba untuk mengulas jalan keluar yang bisa mengatasi tindakan kekerasan
terhadap Ahmadiyah.
2.5. WAJAH AGAMA
YANG SESUNGGUHNYA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Sementara dalam bahasa
Sangsekerta kata agama berasal dari kata a
(tidak) dan gama (kacau). Jadi agama
adalah sesuatu yang tidak menyebabkan kekacauan. Pengertian agama dalam bahasa
Sangsekerta ini mirip dengan kata agama dalam bahasa latin yaitu religio. Religio berasal dari kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Mengikat di sini maksudnya adalah dengan ber-religi maka
seseorang akan mengikat dirinya kepada tuhan. Dan hemat saya mengikat diri dengan
Tuhan menjauhkan manusia dari kekacauan atau gama. Berdasarkan
pengertian agama di atas maka dapat disimpulkan bahwa agama pada dasarnya
selalu terarah pada kebaikan. Di sini kita menemukan bahwa wajah agama yang
sesunguhnya adalah wajah kebaikan.
Dasar yang tidak bisa terbantahkan dari setiap
agama adalah dasar cinta kasih. Setiap agama selalu mengajarkan dan mewartakan
cinta kasih. John David Caputo melihat makna agama dari dua sisi pendekatan
yang berbeda, yakni agama sebagai wadah cinta kasih Tuhan dan agama sebagai
wadah cinta kasih manusia tak bersyarat.
Jadi dalam agama sebenarnya cinta kasih Tuhan dan Mansuia ditampilkan atau
dipertemukan. Oleh karena itu selain wajah kenaikan agama sebenarnya
menampilkan wajah cinta kasih dan perdamaian.
Kebaikan dan cinta kasih adalah wajah agama
sesungguhnya yang tidak bisa terpisahkan dari agama mana pun. Dan dua hal ini
menjadi hakekat dasar dalam setiap agama. Meski demikian dewasa ini agama
sering menampilkan diri dalam wajah yang lain, suatu wajah yang sungguh berbeda
dari wajah sebenarnya. Penyebab timbulnya kekerasan atas nama agama terhadap
Ahmadiyah oleh orang dari kelompok agama tertentu membuat kita bertanya lagi
tentang agama dan tujuannya. Kekerasan adalah kata yang kurang sepadan jika
dikaitkan dengan agama.
2.6. KEKERASAN
TERHADAP AHMADIYAH: WAJAH LAIN DARI AGAMA
Peristiwa
Cikeusik di mana tiga orang anggota jemaat Ahmadiyah dibunuh dan beberapa
peristiwa lainnya mau menegaskan bahwa agama yang diperjuangkan manusia dewasa
ini adalah agama berwajah kematian. Peristiwa yang menimpa Ahmadiyah adalah
peristiwa yang dilatarbelakangi oleh masalah agama. Ahmadiyah dituduh sebagai
kelompok yang menodai keberadaan suatu agama, mereka dicap sebagai kelompok
yang mewartakan pengajaran sesat. Tindakan teror, intimidasi dan pembunuhan
sangat tidak menunjukkan wajah dari agama yang sesungguhnya. Kebaikan dan cinta
kasih diingkari, tidak ada dialog yang bisa dipakai untuk mempertemukan jika
terjadi perbedaan pendapat dan ideologi. Nafsu dan kebuasan telah merasuk umat
beragama untuk membunuh sesamanya. Pertanyaan yang muncul adalah apa
sesungguhnya yang diperjuangkan oleh agama. Kita menjadi ragu dengan wajah
cinta kasih dari agama di tengah realitas yang sadis seperti ini. Kekerasan
yang menimpa kelompok Ahmadiyah adalah wajah lain dari agama.
Pemahaman
yang cerdas tengan agama dan hakekatnya menjadi cara terbaik untuk mengembalikan
agama pada wajah yang sesungguhnya. Biarkan agama bebas mengekspresikan
keindahan wajah kebaikan dan cinta kasihnya seraya menaggalkan topeng
keebencian, dendam dan saling curiga.
BAB III
AHMADIYAH: SARANA MENUJU SUBSTANSI TUNGGAL
3.1. PENGANTAR
Pada
bab ini penulis akan menjelaskan hakekat dasar dari agama dan perannya sebagai
sarana untuk mencapai yang Tunggal. Bahwa dalam setiap agama terdapat satu
substansi tunggal yang merupakan tujuan dari semua umat beriman. Ahmadiyah
merupakan salah satu sarana yang bisa dipakai untuk mencapai yang tunggal itu
sehingga tidak ada alasan bagi pihak mana pun untuk menghentikan setiap usaha
dan kegiatan yang sudah dan sedang mereka jalankan saat ini.
3.2. AGAMA
SEBAGAI SARANA
Sebelum
memahami agama secara benar ada baiknya kita menyadari keberadaan kita di
tengah realitas pluralisme. Ada sekian
banyak cara yang sudah ditempuh dalam meminimalisir kekerasan yang terjadi
termasuk dialog antar agama. Namun tidak ada perubahan signifikan yang tampak
dari usaha-usaha itu. Abd A’la menulis demikian,
“Dalam menghadapi kelompok agama
yang berpotensi radikal dan menjadikan agama sebagai alat untuk menyerang
langkah awal yang perlu dikembangkan adalah penumbuhan kesadaran diri mengenai
realitas pluralisme kehidupan. Adanya kesadaran ini menjadi landasan cukup
berarti bagi terciptanya dialog yang benar-benar tumbuh dari kebutuhan mereka
sendiri, yang pada gilirannya akan memberi pelaung untuk bersikap saling
terbuka, jujur dan mau memahami umat dari agama lain.
Sikap
ini menjadi sangat penting ditengah realitas bangsa Indonesia yang plural ini.
Ada begitu banyak agama di Indonesia yang turut mempengaruhi kehidupan sosial.
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa agama bisa berwajah ganda ketika
orang menyertakan kepentingan tertentu dalam beragama. Agama bisa membawa
kedamaian tetapi tak jarang menghadirkan pertikaian, sementara hampir semua
umat beragama memahami fungsi agama sebagai penghubung antara manusia dengan
Allah.
Sebagai penghubung maka sebenarnya
agama tidaklah lebih dari sekedar sarana atau alat. Lebih lanjut Harold Coward
menegaskan bahwa keanekaragaman dan pluralitas agama menggarisbawahi fungsinya
sebagai alat. Wahyu dan doktrin adalah sarana untuk mencapai yang satu.
Karena sebagai alat, yang ada dalam agama-agama adalah kumpulan partikular
sarana yang digunakan sebagai alat yang dengannya yang satu dapat dicapai.
Dengan statusnya sebagai sarana maka agama sebenarnya tidak perlu dibela apalagi
sampai mengorbankan nyawa. Kita semua seharusnya menyadari bahwa di hadapan
Allah, agama-agama sebagai sarana adalah sama. Dan kebenaran agama pada
hakikatnya berawal dari sumber yang satu. Tidak ada yang lebih baik dari yang
lain, semuanya adalah jembatan menuju tujuan yang satu. Sementara pluralisme
keagamaan dapat dipahami dengan paling baik dalam kaitan dengan sebuah logika
yang melihat satu yang berwujud banyak-realitas transenden yang menggejala
dalam bermacam-macam agama.
3.3. AHMADIYAH
MENGARAH PADA SUBSTANSI TUNGGAL
Secara
substantif E.B. Tylor mengartikan agama sebagai kepercayaan terhadap wujud
tertinggi.
Jadi apapun nama dan bentuknya, agama hanyalah sarana yang selalu terarah
menuju wujud tertinggi dan tunggal itu. Jika agama-agama adalah sarana yang
tidak perlu diperdebatkan karena selalu mengarah pada Satu Wujud tertinggi lalu
mengapa jemaat Ahmadiyah mesti dilarang, diteror, dan dibunuh? Ahmadiyah adalah
salah satu dari sekian sarana yang dipakai umat manusia untuk mencapai yang
tunggal itu. Kita menggunakan pendekatan filsafat Perennial untuk melihat
posisi Ahmadiyah sebagai sarana menuju yang tunggal. Dalam filsafat Pereninial
satu hal yang paling ditekankan adalah hal yang paling substansial dari suatu
agama yaitu wujud tertinggi dan semua agama adalah sama menuju satu wujud yang
mutlak itu.
Fenomena kekerasan terhadap Ahmadiyah oleh sekelompok orang menegaskan bahwa
orang belum memahami substansi dari usaha Ahmadiyah dan melihat Ahmadiyah
secara parsial. Padahal Ahmadiyah adalah bagian dari sarana yang terarah pada
yang tunggal dan mutlak itu.
BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Agama
pada hakikatnya mengajarkan kebaikan dan cinta kasih baik dalam hubungannya
dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Tugas mengajarnya itu menempatkan
agama sebagai sarana atau alat yang dipakai manusia untuk berjumpa dengan wujud
tertinggi yang diimani. Sementara pluralisme agama menegaskan bahwa ada sekian
banyak cara yang dapat dipakai oleh manusia untuk mencapai yang tunggal itu.
Dan dihadapan Allah sarana-sarana itu adalah sama dan setara.
Ahmadiyah adalah
salah satu sarana yang dipakai untuk mencapai yang tunggal itu. Sehingga cara
mereka harus dihargai dan dihormati. Tetapi yang terjadi saat ini bertolak
belakang dengan apa yang diharapkan. Sehingga fenomena kekerasan atas nama
agama yang menimpa Ahmadiyah pada prisnsipnya tidak bisa dibenarkan, sebab Ahmadiyah
adalah salah satu dari sekian cara untuk mencapai yang tunggal. Dan kekerasan
terhadap Ahmadiyah atas nama agama harus dilawan sebab mengingkari hakekat dari
agama yang sesungguhnya yaitu cinta kasih dan kebaikan.
4.2. SARAN
Penulis
menyadari bahwa tulisan ini syarat akan kekurangan dan jauh dari sempurna,
untuk itu dari hati yang paling dalam penulis sangat mengharapkan aadnya kerja
sama yang baik dari pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang membangun
agar kita semua dapat memahami secara tepat keseluruhan isi tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
KAMUS
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi ke-4, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
BUKU-BUKU
Achmad, Nur (ed.). Pluralitas
Agama: Kerukunan Dalam Keragaman. Jakarta: Kompas, 2001.
Coward, Harold. Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-Agama.
Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Kewuel, Hipolitus.
(ed.). Mengolah Pluralitas Agama. Malang: Serva Minora, 2011.
SF, Qamaruddin. (ed.). Melampaui
Dialog Agama. Jakarta: Kompas, 2002.
JURNAL
Gusti, Otto. “Pancasila Sebagai Identitas Bangsa” . Dalam VOX Seri 56 /01/2012.
SUMBER INTERNET