Senin, 28 September 2015
Selasa, 22 September 2015
Figo Acm: KOLO SETOKO TALI SETEBU, AKU TAMPAMU BUTIRAN DEBU
KOLO SETOKO TALI SETEBU, AKU TAMPAMU
BUTIRAN DEBU
(saat kesadaran sedikit ditipu di sebuah
mall mewah, dan setelah sejenak kembali pulang ke Flores)
Oleh: Figo Acm
Ahh..luar
biasa, baru di tempat ini saya ditipu. Dalam sebuah mall yang mewah di kota
Jakarta hari berakhir tampa gelap dan pagi dimulai tampa melalui malam. Kalimat
awal sedikit puitis, namun sebenarnya saya hanya mencoba menggambarkan bahwa
ada ketakadilan yang menganga di tengah gemerlapnya kota Jakarta. Thomas Alva
Edison menciptakan bola lampu setelah melalui ribuan percobaan. Kini bola lampu
diciptakan dalam sekejap dan dalam sekejap pula hari yang seharusnya sudah
menyentuh senja tetap kelihatan seperti siang yang terus bercahaya.
Benar apa yang dikatakan Goenawan
Mohammad, penulis caping dalam majalah tempo
bahwa ada ketidakadilan di negeri ini. Dalam capingnya yang berjudul Mall beliau membandingkan ketidakadilan
dalam penggunaan listrik. Saya merasa bodoh, mungkin juga
merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, di mana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores (Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIIII/ 07 - 13 Mei 2007).
Banyak daerah
di Flores yang belum dialiri listrik. Sebagai contoh di kabupaten Ende tepatnya
di Megenura, sampai hari ini belum mendapat pasokan listrik padahal Megenura
bukanlah daerah pedalaman, bahkan masih terhitung sebagai daerah pinggir kota
Ende. Bagaimana nasibnya daerah Koekobho di Nagekeo yang boleh dibilang sebagai
daerah pedalaman. Kiranya listrik yang dibutuhkan oleh orang-orang Koekobho
tidak lebih besar dari tenaga listrik yang dipakai dalam satu ruangan dari
beberapa ruangan pada sebuah mall mewah di kota
Jakarta.
Setelah berlama-lama
di dalam mall saya kemudian kaget ketika melihat jarum jam pada arloji tua
peninggalan almarhun ayah tercinta. Malu pada diri sendiri setelah tahu bahwa
kemajuan teknologi sempat menyihir kesadaran saya. ternyata hari sudah malam,
ya malam yang mengenakkan aura siang bolong. Di dalam Mall kadang kita tidak
menyadari bahwa waktu sedang berputar dari pagi ke siang dan siang ke malam
lalu ke pagi lagi. Tetapi di kampung, di Flores nun jauh sana jam 6 sore
berarti jendela harus segera ditutup dan pelita wajib dinyalakan, sembari
beristirahat panjang sampai jago menjemput fajar tanda pagi telah tiba. Dan
setelah memadamkan pelita dan memulai harinya lagi orang-orang di kampung sana
tidak pernah berpikir bahwa mereka sedang mengalami ketakadilan. Begitupula
dengan mereka di kota-kota besar yang lupa meng switch of kan saklar lampunya dan terus memuntahkan (meminjam
kata-kata Goenawan Muhamad) kotoran ke langit dan bumi (emisi karbon).
Ketidakadilan
dalam kasus yang kecil seperti penggunaan listrik ini seharusnya tidak perlu
terjadi. Listrik menurut Jokowi dalam pidato pembukaan Pemenangan Pilkada partai
Nasdem menjadi kebutuhan yang sangat penting. Anak tidak akan dapat belajar
dengan baik, usaha ekonomi mikro tidak akan berkembang, waktu akan dibuang
percuma tampa adanya listrik. Demikian Jokowi mengungkapkan betapa pentingnya
listrik. Pembangunan dan perkembangan Indonesia yang merata dan menyeluruh
hanya akan menjadi speak doang apabila
pasokan listrik hanya dikonsentrasikan pada mall-mall besar (sebagai contoh) dan
membiarkan masyarakat di kampung berpegang teguh pada pelitanya.
Seorang teman
di suatu siang mengupdate statusnya demikian “kolo setoko tali setebu, aku
tampamu butiran debu”. Sedikit melawak status dalam sosmed teman saya ini.
Namun benar apabila tidak ada pemerataan pembangunan secara khusus untuk hal
yang urgen dalam hal ini pasokan tenaga listrik ke daerah-daerah pedalaman,
maka ina ama wue wari, ine bapa kae ari dan lain sebagainya akan
sungguh-sungguh menjadi butiran debu yang hanya berpasrah dalam badai
membiarkan diri diterbangkan angin. Perbedaan yang mencolok di atas membuat
orang di kampung merasa hidup tampa negara, maka jelas butiran debu jadinya. Indonesia
itu Pancasila, Pancasila itu kolo setoko
tali setebu.
Figo
Acm
Jakarta, 22 September 2015
Langganan:
Postingan (Atom)