Selasa, 22 September 2015

Figo Acm: KOLO SETOKO TALI SETEBU, AKU TAMPAMU BUTIRAN DEBU

KOLO SETOKO TALI SETEBU, AKU TAMPAMU BUTIRAN DEBU
(saat kesadaran sedikit ditipu di sebuah mall mewah, dan setelah sejenak kembali pulang ke Flores)

Oleh: Figo Acm

Ahh..luar biasa, baru di tempat ini saya ditipu. Dalam sebuah mall yang mewah di kota Jakarta hari berakhir tampa gelap dan pagi dimulai tampa melalui malam. Kalimat awal sedikit puitis, namun sebenarnya saya hanya mencoba menggambarkan bahwa ada ketakadilan yang menganga di tengah gemerlapnya kota Jakarta. Thomas Alva Edison menciptakan bola lampu setelah melalui ribuan percobaan. Kini bola lampu diciptakan dalam sekejap dan dalam sekejap pula hari yang seharusnya sudah menyentuh senja tetap kelihatan seperti siang yang terus bercahaya.

           Benar apa yang dikatakan Goenawan Mohammad, penulis caping dalam majalah tempo bahwa ada ketidakadilan di negeri ini. Dalam capingnya yang berjudul Mall beliau membandingkan ketidakadilan dalam penggunaan listrik. Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, di mana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores (Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIIII/ 07 - 13 Mei 2007).
          Banyak daerah di Flores yang belum dialiri listrik. Sebagai contoh di kabupaten Ende tepatnya di Megenura, sampai hari ini belum mendapat pasokan listrik padahal Megenura bukanlah daerah pedalaman, bahkan masih terhitung sebagai daerah pinggir kota Ende. Bagaimana nasibnya daerah Koekobho di Nagekeo yang boleh dibilang sebagai daerah pedalaman. Kiranya listrik yang dibutuhkan oleh orang-orang Koekobho tidak lebih besar dari tenaga listrik yang dipakai dalam satu ruangan dari beberapa ruangan pada sebuah mall mewah di kota  Jakarta.
         Setelah berlama-lama di dalam mall saya kemudian kaget ketika melihat jarum jam pada arloji tua peninggalan almarhun ayah tercinta. Malu pada diri sendiri setelah tahu bahwa kemajuan teknologi sempat menyihir kesadaran saya. ternyata hari sudah malam, ya malam yang mengenakkan aura siang bolong. Di dalam Mall kadang kita tidak menyadari bahwa waktu sedang berputar dari pagi ke siang dan siang ke malam lalu ke pagi lagi. Tetapi di kampung, di Flores nun jauh sana jam 6 sore berarti jendela harus segera ditutup dan pelita wajib dinyalakan, sembari beristirahat panjang sampai jago menjemput fajar tanda pagi telah tiba. Dan setelah memadamkan pelita dan memulai harinya lagi orang-orang di kampung sana tidak pernah berpikir bahwa mereka sedang mengalami ketakadilan. Begitupula dengan mereka di kota-kota besar yang lupa meng switch of kan saklar lampunya dan terus memuntahkan (meminjam kata-kata Goenawan Muhamad) kotoran ke langit dan bumi (emisi karbon).
       Ketidakadilan dalam kasus yang kecil seperti penggunaan listrik ini seharusnya tidak perlu terjadi. Listrik menurut Jokowi dalam pidato pembukaan Pemenangan Pilkada partai Nasdem menjadi kebutuhan yang sangat penting. Anak tidak akan dapat belajar dengan baik, usaha ekonomi mikro tidak akan berkembang, waktu akan dibuang percuma tampa adanya listrik. Demikian Jokowi mengungkapkan betapa pentingnya listrik. Pembangunan dan perkembangan Indonesia yang merata dan menyeluruh hanya akan menjadi speak doang apabila pasokan listrik hanya dikonsentrasikan pada mall-mall besar (sebagai contoh) dan membiarkan masyarakat di kampung berpegang teguh pada pelitanya.
       Seorang teman di suatu siang mengupdate statusnya demikian “kolo setoko tali setebu, aku tampamu butiran debu”. Sedikit melawak status dalam sosmed teman saya ini. Namun benar apabila tidak ada pemerataan pembangunan secara khusus untuk hal yang urgen dalam hal ini pasokan tenaga listrik ke daerah-daerah pedalaman, maka ina ama wue wari, ine bapa kae ari dan lain sebagainya akan sungguh-sungguh menjadi butiran debu yang hanya berpasrah dalam badai membiarkan diri diterbangkan angin. Perbedaan yang mencolok di atas membuat orang di kampung merasa hidup tampa negara, maka jelas butiran debu jadinya. Indonesia itu Pancasila, Pancasila itu kolo setoko tali setebu.
                                                                                                            Figo Acm
                                                                                               Jakarta, 22 September 2015