Jumat, 13 Maret 2015

INE KAMI A METU MITE ( simbol saka nda'a rua pada peo di kampung Jawawawo)


INE KAMI A METU MITE
( simbol saka nda'a rua pada peo di kampung Jawawawo)
FIGO ACM
 
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa peo adalah simbol utama persatuan masyarakat adat Nagekeo. Ada tiga jenis peo yang menggambarkan persatuan bagi orang Nagekeo. Yang pertama, peo muri adalah peo yang ditanam di tengah kampung dan berupa pohon yang masih hidup. Pohon beringin dan pohon reo biasanya dijadikan sebagai peo muri. Yang kedua, peo watu adalah peo berupa batu yang ditanam di tengah kampung, batu yang digunakan biasanya berbentuk lonjong dan memanjang. Yang ketiga adalah peo kaju, merupakan peo yang terbuat dari kayu bercabang dua berbentuk huruf V (biasanya terbuat dari kayu embu atau cassia fistula) yang dipotong dan dipahat membentuk relief-relief tertentu. Kayu embu (cassia fistula) sering digunakan untuk membuat peo kaju oleh karena mutunya yang tinggi, keras dan kuat. Ketiga jenis peo di atas sering dijumpai di kampung-kampung adat sekitar Nagekeo.
Meski ada jenis yang berbeda untuk beberapa kampung namun peo-peo  tersebut memberi satu makna yang sama yakni persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan menjadi makna yang diberi secara umum. Meski demikian ada makna-makna khusus yang dihayati secara berbeda-beda oleh setiap daerah. Misalnya peo di kampung Jawawawo selain membawa makna persatuan namun di sisi lain memiliki makna khusus untuk orang di kampung itu. Setiap cabang pada peo Jawawawo mengandung makna yang berlainan, cabang yang pertama bermakna tana odo watu ebho, sementara cabang yang lainnya tentang tana fai watu ana. Tetapi makna-makna khusus ini jika dikaji lagi sebenarnya bersumber pada nilai persatuan dan kesatuan. Tanah yang disimbolkan dengan dua cabang peo di atas merupakan tanah suku yang dimiliki oleh orang di kampung Jawawawo, Ua serta Romba Wawokota. Tanah-tanah tersebut menjadi milik masyarakat yang bernaung di bawah peo Jawawawo, oleh karenanya dua cabang peo tersebut menjadi simbol kesatuan tanah dari masyarakat di kampung-kampung tersebut. Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa peo memiliki makna persatuan dan kesatuan.
Perlu diketahui bahwa sebenarnya ada dua jenis peo di Jawawawo yaitu peo fai dan peo aki  (madhu). Peo fai merupakan peo yang terbuat dari kayu bercabang dua berbentuk huruf V. Sementara peo aki merupakan peo yang dipahat membentuk seorang laki-laki yang sedang duduk telanjang. Namun masyarakat luas jarang menyebut atau membedakan peo fai dan peo aki. Orang lebih mengenal dan menyebut peo aki sebagai madhu dan peo fai sebagai peo. Sehingga peo atau peo fai lebih familiar bagi masyarakat luas dan ketika orang menyebut kata peo maka pikiran mereka akan lebih tertuju pada peo fai yang bercabang dua itu. Dan orang Jawawawo sendiri juga lebih familiar untuk menyebut peo fai sebagai peo dan peo aki sebagai madhu. Dan kata peo yang saya pakai dalam tulisan ini selalu menunjuk pada peo fai.
       Hampir semua peo selalu memberi makna tersendiri, begitupula dengan peo di kampung Jawawawo yang juga menyimpan banyak makna tentang kehidupan. Bentuknya yang khas dan simbol-simbol yang terkandung dalam relief-relief yang dipahat serta aksesoris yang disertakan padanya mengandung sekian banyak makna yang menceritakan tentang sejarah dan menyimpan sekian banyak kebajikan tentang kehidupan. Nilai budaya dan nilai religius yang tinggi juga membingkai dalam monumen adat yang agung dan gagah ini. Sehingga tidaklah mengherankan jika ritual yang sakral dan pengorbanan yang tinggi dibuat selama berhari-hari ketika peo baru hendak dipugar dan ditanam ulang.
         Berhari-hari tari-tarian dibawakan mengiringi proses pembuatan peo, gong dan gendang ditabuh tampa henti, hewan kurban disembelih tak terhitung banyaknya. Harusnya ada sesuatu yang melatarbelakangi pengorbanan tampa pamrih ini. Jika diperhatikan sebenarnya tidaklah sulit untuk mendirikan sebatang kayu di tengah kampung, suatu pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam sehari saja. Tetapi kayu yang berdiri di tengah kampung Jawawawo dibuat berhari-hari dalam ritual yang sakral dengan berbagai jenis pengorbanan berupa waktu, tenaga, pikiran dan materi. Ternyata kayu bercabang dua itu bukanlah sekedar tiang kayu biasa, ukiran-ukiran di sekujur tubuh peo tidak dipahat sesuka hati, begitupula dengan aksesoris yang terpasang pada bagian-bagian peo tidak hanya sebagai penghias biasa. Ada sekian makna yang terungkap melalui tiang kayu yang dipahat indah itu beserta dengan ornamen yang tergantung di beberapa sisinya. Tiang peo itu menjadi sakral dengan darah hewan-hewan kurban, menjadi agung dengan gong gendang seta tari-tarian, menjadi berwibawa dengan pengorbana waktu, tenaga, pikiran dari orang-orang di kampung Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota.
     Ine kami a metu mite, ame kami a dadu tolo adalah ungkapan persatuan bagi ketiga kampung besar Ua, Jawawawo dan Romba Wawokota yang bernaung di bawah satu peo di kampung Jawawawo itu.Secara harafiah ungkapan di atas berarti orang-orang yang bernaung di bawah peo Jawawawo itu berasal dari satu moyang yang sama, berasal dari satu bapa dan ibu yang sama yaitu ine yang a metu mite dan ame yang a dadu tolo. Ungkapan ini menjadi semakin kuat dan mendalam ketika ine metu mite dan ame dadu tolo ini menjadi nama bagi simbol adat peo di kampung Jawawawo. Di Jawawawo ada dua jenis peo yaitu peo aki (madhu) dan peo fai. Dan masing-masing peo diberi nama seturut ungkapan persatuan di atas. Peo aki diberi nama ame dewa dan peo fai disebut ine mere. Ame dewa dan ine mere dapat ditafsir sebagai berikut. Ame dewa berarti bapa yang besar, tinggi, dan berwibawa sementara ine mere berarti ibu yang penuh kasih sayang, pelindung dan pemelihara. Jadi kedua peo di Jawawawo ini menjadi simbol kehadiran nenek moyang yang selalu menjaga dan melindungi anak cucunya agar tidak tercerai berai.
     Meski kedua peo di atas sama-sama bermakna persatuan dan kesatuan namun seturut tampilan fisik peo fai lebih menunjukkan pesan persatuan. Saka nda’a rua (cabang-cabang) yang menjadi bagian dari peo fai secara jelas menampilkan pesan itu. Cabang yang pertama menjadi lambang dari tana fai watu ana (selengkapnya ada pada kisah PI'A ROGO), sementara cabang yang lainnya merupakan lambang tana odo watu ebho (selengkapnya ada dalam sejarah API KA IA NAMBEnya Embu Riwu Ngongo). Kedua-duanya melambangkan persatuan tanah dari suku-suku di ketiga kampung besar Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota. Cabang tana fai watu ana menyimpan cerita tentang tanah yang diperoleh melalui perang dan keberanian sementara tana odo watu ebho menjadi pengingat akan tanah yang sudah diperoleh sejak dahulu kala dari nenek moyang di gunung Koto. Cabang-cabang peo tersebut sebenarnya menjadi pengingat bagi semua orang bahwa orang Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota memiliki tanahnya sendiri dan mereka berhak atas tanah-tanah itu. Semua orang di ketiga kampung ini akan beranggapan bahwa meski mereka tinggal berjauhan dalam kampung yang berbeda atau di daerah yang berbeda namun mereka tetap bersatu dalam satu saka nda’a yang sama. Tanah yang ada di Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota menjadi satu dalam saka nda’a tana fai watu ana dan saka nda’a tana odo watu ebho. Peo dengan saka nda,a rua ini menjadi dasar yang menguatkan persatuan orang di ketiga kampung besar ini.
        Saka nda’a rua pada peo menjadikan monumen adat ini terlihat unik. Dia bukan hanya terdiri dari satu batang kayu yang berdiri tegak saja tetapi harus bercabang dua dan cabangnya itu mesti terbuka ke atas seperti orang sedang merentangkan tangannya menengadah ke langit untuk memohon kepada Yang Ilahi. Saka nda,a rua bagaikan tangan yang terbuka dan siap untuk menerima rahmat dari Yang Ilahi. Ada nuansa kepasrahan dan keterbukaan pada bentuk peo saka nda’a rua ini. Peo dengan dua cabang ini juga sebenarnya mengingatkan orang Jawawawo bahwa ada Sesuatu di atas sana yang lebih tinggi dari segalanya. Peo seakan mengajak orang Jawawawo untuk tidak pernah lupa akan Yang di atas, orang Jawawawo harus senantiasa membuka hati dan dirinya untuk kehadiran Yang Ilahi.
           Selain menggambarkan keterbukaan pada Yang Ilahi saka nda’a rua juga identik dengan huruf V yang merupakan simbol dari perempuan atau lebih tepatnya simbol dari ibu yang melahirkan atau yang menghadirkan kehidupan baru. Memang kurang jelas bagi kita untuk memahami arti yang sebenarnya saka nda’a rua yang berbentuk V itu khusunya memahami itensi dari nenek moyang kita ketika menjadikan peo sebagai lambang persatuan adat. Namun jika dihubungkan dengan nama yang diberikan oleh orang Jawawawo kepada peo mereka yakni ine mere dan penggunaan secara umum kayu bercabang dua berbentuk huruf V sebagai peo fai maka pemberian makna peo fai sebagai ibu yang melahirkan dan memberi kehidupan dapatlah diterima. Ine mere atau peo fai orang Jawawawo dalam hubungannya denga saka nda’a rua sebagai simbol perempuan memiliki pesan bahwa orang Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota pada dasarnya terlahir dari satu ibu yang sama, mereka datang dari satu moyang yang sama, mereka dikandung dari ine mere yang satu metu mite. Ini menjadi selaras dengan keyakinan orang Jawawawo bahwa ine kami a metu mite, ame kami a dadu tolo. Ungkapan yang bermakna bahwa orang Jawawawo berasal dari satu ibu dan ayah yang sama atau datang dari satu asal dan moyang yang sama. Ungkapan di atas oleh orang Jawawawo seakan menjadi motto persatuan mereka. Dalam peo ine mere bercabang dua yang terbuka ke langit ini orang Jawawawo bersatu.

Sekian.... 
STFK Ledalero 2015