INE KAMI A METU MITE
( simbol saka nda'a rua pada peo di kampung Jawawawo)
FIGO ACM
Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa peo adalah
simbol utama persatuan masyarakat adat Nagekeo. Ada tiga jenis peo yang menggambarkan persatuan bagi
orang Nagekeo. Yang pertama, peo muri adalah
peo yang ditanam di tengah kampung
dan berupa pohon yang masih hidup. Pohon beringin dan pohon reo biasanya
dijadikan sebagai peo muri. Yang
kedua, peo watu adalah peo berupa batu yang ditanam di tengah
kampung, batu yang digunakan biasanya berbentuk lonjong dan memanjang. Yang
ketiga adalah peo kaju, merupakan peo yang terbuat dari kayu bercabang dua
berbentuk huruf V (biasanya terbuat dari kayu embu atau cassia fistula) yang dipotong dan dipahat membentuk relief-relief
tertentu. Kayu embu (cassia fistula) sering digunakan untuk
membuat peo kaju oleh karena mutunya
yang tinggi, keras dan kuat. Ketiga jenis peo
di atas sering dijumpai di kampung-kampung adat sekitar Nagekeo.
Meski
ada jenis yang berbeda untuk beberapa kampung namun peo-peo tersebut memberi
satu makna yang sama yakni persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan
menjadi makna yang diberi secara umum. Meski demikian ada makna-makna khusus
yang dihayati secara berbeda-beda oleh setiap daerah. Misalnya peo di kampung Jawawawo selain membawa
makna persatuan namun di sisi lain memiliki makna khusus untuk orang di kampung
itu. Setiap cabang pada peo Jawawawo
mengandung makna yang berlainan, cabang yang pertama bermakna tana odo watu ebho, sementara cabang
yang lainnya tentang tana fai watu ana.
Tetapi makna-makna khusus ini jika dikaji lagi sebenarnya bersumber pada nilai
persatuan dan kesatuan. Tanah yang disimbolkan dengan dua cabang peo di atas merupakan tanah suku yang
dimiliki oleh orang di kampung Jawawawo, Ua serta Romba Wawokota. Tanah-tanah
tersebut menjadi milik masyarakat yang bernaung di bawah peo Jawawawo, oleh karenanya dua cabang peo tersebut menjadi simbol kesatuan tanah dari masyarakat di
kampung-kampung tersebut. Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa peo memiliki makna persatuan dan
kesatuan.
Perlu diketahui bahwa sebenarnya ada dua jenis peo di Jawawawo yaitu peo fai
dan peo aki (madhu).
Peo fai merupakan peo yang terbuat dari kayu bercabang dua
berbentuk huruf V. Sementara peo aki merupakan
peo yang dipahat membentuk seorang
laki-laki yang sedang duduk telanjang. Namun masyarakat luas jarang menyebut
atau membedakan peo fai dan peo aki. Orang lebih mengenal dan
menyebut peo aki sebagai madhu dan peo fai sebagai peo.
Sehingga peo atau peo fai lebih familiar bagi masyarakat
luas dan ketika orang menyebut kata peo maka
pikiran mereka akan lebih tertuju pada peo
fai yang bercabang dua itu. Dan orang Jawawawo sendiri juga lebih familiar
untuk menyebut peo fai sebagai peo dan peo aki sebagai madhu.
Dan kata peo yang saya pakai dalam
tulisan ini selalu menunjuk pada peo fai.
Hampir
semua peo selalu memberi makna
tersendiri, begitupula dengan peo di
kampung Jawawawo yang juga menyimpan banyak makna tentang kehidupan. Bentuknya
yang khas dan simbol-simbol yang terkandung dalam relief-relief yang dipahat
serta aksesoris yang disertakan padanya mengandung sekian banyak makna yang
menceritakan tentang sejarah dan menyimpan sekian banyak kebajikan tentang
kehidupan. Nilai budaya dan nilai religius yang tinggi juga membingkai dalam
monumen adat yang agung dan gagah ini. Sehingga tidaklah mengherankan jika
ritual yang sakral dan pengorbanan yang tinggi dibuat selama berhari-hari
ketika peo baru hendak dipugar dan
ditanam ulang.
Berhari-hari
tari-tarian dibawakan mengiringi proses pembuatan peo, gong dan gendang ditabuh tampa henti, hewan kurban disembelih
tak terhitung banyaknya. Harusnya ada sesuatu yang melatarbelakangi pengorbanan
tampa pamrih ini. Jika diperhatikan sebenarnya tidaklah sulit untuk mendirikan
sebatang kayu di tengah kampung, suatu pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam
sehari saja. Tetapi kayu yang berdiri di tengah kampung Jawawawo dibuat
berhari-hari dalam ritual yang sakral dengan berbagai jenis pengorbanan berupa
waktu, tenaga, pikiran dan materi. Ternyata kayu bercabang dua itu bukanlah
sekedar tiang kayu biasa, ukiran-ukiran di sekujur tubuh peo tidak dipahat sesuka hati, begitupula dengan aksesoris yang
terpasang pada bagian-bagian peo tidak
hanya sebagai penghias biasa. Ada sekian makna yang terungkap melalui tiang
kayu yang dipahat indah itu beserta dengan ornamen yang tergantung di beberapa
sisinya. Tiang peo itu menjadi sakral
dengan darah hewan-hewan kurban, menjadi agung dengan gong gendang seta tari-tarian,
menjadi berwibawa dengan pengorbana waktu, tenaga, pikiran dari orang-orang di
kampung Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota.
Ine kami a metu mite, ame kami a
dadu tolo adalah ungkapan persatuan bagi ketiga kampung besar
Ua, Jawawawo dan Romba Wawokota yang bernaung di bawah satu peo di kampung Jawawawo itu.Secara
harafiah ungkapan di atas berarti orang-orang yang bernaung di bawah peo Jawawawo itu berasal dari satu moyang
yang sama, berasal dari satu bapa dan ibu yang sama yaitu ine yang a metu mite dan ame yang a dadu tolo. Ungkapan ini menjadi semakin kuat dan mendalam ketika ine metu mite dan ame dadu tolo ini menjadi nama bagi simbol adat peo di kampung Jawawawo. Di Jawawawo ada
dua jenis peo yaitu peo aki (madhu) dan peo fai. Dan
masing-masing peo diberi nama seturut
ungkapan persatuan di atas. Peo aki diberi
nama ame dewa dan peo fai disebut ine mere.
Ame dewa dan ine mere dapat ditafsir sebagai berikut. Ame dewa berarti bapa yang besar, tinggi, dan berwibawa sementara ine mere berarti ibu yang penuh kasih
sayang, pelindung dan pemelihara. Jadi kedua peo di Jawawawo ini menjadi simbol kehadiran nenek moyang yang
selalu menjaga dan melindungi anak cucunya agar tidak tercerai berai.
Meski
kedua peo di atas sama-sama bermakna
persatuan dan kesatuan namun seturut tampilan fisik peo fai lebih menunjukkan pesan persatuan. Saka nda’a rua (cabang-cabang)
yang menjadi bagian dari peo fai secara
jelas menampilkan pesan itu. Cabang yang
pertama menjadi lambang dari tana fai
watu ana (selengkapnya ada pada kisah PI'A ROGO), sementara cabang yang lainnya merupakan lambang tana odo watu ebho (selengkapnya ada dalam sejarah API KA IA NAMBEnya Embu Riwu Ngongo). Kedua-duanya
melambangkan persatuan tanah dari suku-suku di ketiga kampung besar Jawawawo,
Ua dan Romba Wawokota. Cabang tana fai
watu ana menyimpan cerita tentang tanah yang diperoleh melalui perang dan
keberanian sementara tana odo watu ebho menjadi
pengingat akan tanah yang sudah diperoleh sejak dahulu kala dari nenek moyang di
gunung Koto. Cabang-cabang peo tersebut
sebenarnya menjadi pengingat bagi semua orang bahwa orang Jawawawo, Ua dan
Romba Wawokota memiliki tanahnya sendiri dan mereka berhak atas tanah-tanah
itu. Semua orang di ketiga kampung ini akan beranggapan bahwa meski mereka
tinggal berjauhan dalam kampung yang berbeda atau di daerah yang berbeda namun
mereka tetap bersatu dalam satu saka
nda’a yang sama. Tanah yang ada di Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota menjadi
satu dalam saka nda’a tana fai watu ana dan
saka nda’a tana odo watu ebho. Peo dengan saka nda,a rua ini
menjadi dasar yang menguatkan persatuan orang di ketiga kampung besar ini.
Saka nda’a rua pada
peo menjadikan monumen adat ini
terlihat unik. Dia bukan hanya terdiri dari satu batang kayu yang berdiri tegak
saja tetapi harus bercabang dua dan cabangnya itu mesti terbuka ke atas seperti
orang sedang merentangkan tangannya menengadah ke langit untuk memohon kepada
Yang Ilahi. Saka nda,a rua bagaikan
tangan yang terbuka dan siap untuk menerima rahmat dari Yang Ilahi. Ada nuansa
kepasrahan dan keterbukaan pada bentuk peo
saka nda’a rua ini. Peo dengan
dua cabang ini juga sebenarnya mengingatkan orang Jawawawo bahwa ada Sesuatu di
atas sana yang lebih tinggi dari segalanya. Peo
seakan mengajak orang Jawawawo untuk tidak pernah lupa akan Yang di atas,
orang Jawawawo harus senantiasa membuka hati dan dirinya untuk kehadiran Yang
Ilahi.
Selain
menggambarkan keterbukaan pada Yang Ilahi saka
nda’a rua juga identik dengan huruf V yang merupakan simbol dari perempuan
atau lebih tepatnya simbol dari ibu yang melahirkan atau yang menghadirkan
kehidupan baru. Memang kurang jelas bagi kita untuk memahami arti yang
sebenarnya saka nda’a rua yang
berbentuk V itu khusunya memahami itensi dari nenek moyang kita ketika
menjadikan peo sebagai lambang
persatuan adat. Namun jika dihubungkan dengan nama yang diberikan oleh orang
Jawawawo kepada peo mereka yakni ine mere dan penggunaan secara umum kayu
bercabang dua berbentuk huruf V sebagai peo
fai maka pemberian makna peo fai sebagai
ibu yang melahirkan dan memberi kehidupan dapatlah diterima. Ine mere atau peo fai orang Jawawawo dalam hubungannya denga saka nda’a rua sebagai simbol perempuan memiliki pesan bahwa orang
Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota pada dasarnya terlahir dari satu ibu yang sama,
mereka datang dari satu moyang yang sama, mereka dikandung dari ine mere yang satu metu mite. Ini menjadi selaras dengan keyakinan orang Jawawawo
bahwa ine kami a metu mite, ame kami a
dadu tolo. Ungkapan yang bermakna bahwa orang Jawawawo berasal dari satu
ibu dan ayah yang sama atau datang dari satu asal dan moyang yang sama.
Ungkapan di atas oleh orang Jawawawo seakan menjadi motto persatuan mereka.
Dalam peo ine mere bercabang dua yang
terbuka ke langit ini orang Jawawawo bersatu.
Sekian....
STFK Ledalero 2015