Rabu, 07 Oktober 2015

MAKNA SIMBOL MANU DAN KODO PADA PEO JAWAWAWO

MANU DAN KODO PADA PEO JAWAWAWO,
Foto by Seri Ndoa Dhele
Makna Simbol Manu
Pada bagian tengah di mana saka nda’a rua bertemu khususnya pada kedua sisi kiri dan kanan terdapat dua ekor ayam jantan atau manu. Riilnya, manu diletakkan tepat di titik tengah dari tiang peo. Apa sebenarnya makna dari simbol manu pada peo di Jawawawo sehingga para pendahulu memilih untuk menyertakan pahatan ayam jantan pada kedua sisi peo.
Dalam mitologi Yunani ayam jago dilukiskan memiliki kemampuan untuk “membangunkan” matahari. Ayam jagolah yang memanggil matahari untuk terbit di pagi hari dengan kokokkannya yang nyaring.[1] Kokokan ayam jago pada pagi menjelang matahari terbit ini menjadi simbol kemenangan terang atas kegelapan atau lebih konkretnya kemenangan kebaikan dan kebenaran atas kejahatan dan keburukan. Maka, tidaklah mengherankan jika pada beberapa gereja terdapat patung ayam jago pada bagian atapnya. Ayam jago dijadikan sebagai simbol penantian atau penyambutan datangnya Sang Fajar Kebenaran yaitu Yesus Kristus. Selain itu, tentang jago yang berkokok mengingatkan kita pada Petrus yang menyangkal Yesus. Jadi, ayam jago juga sebenarnya menjadi pengingat bagi manusia untuk menjaga kesetian sekaligus menjadi ajakan untuk selalu menoleh ke belakang dan merefleksikan segala sesuatu yang sudah pernah terjadi. Apakah kita sudah jujur pada kehidupan atau malah menyangkal kenyataan hidup yang sudah dan akan dihadapi.
Simbol ayam jago yang dipakai dalam mitologi Yunani dan dalam Gereja Katolik memiliki makna yang hampir sama dengan manu yang terdapat pada kedua sisi peo. Pada dasarnya simbol manu memiliki makna bahwa hari baru dan kehidupan baru selalu ada. Manusia diajak untuk selalu siap siaga menyambut kehidupan yang baru itu. Menjelang fajar, kalau ayam sudah berkokok, itu tandanya sedikit lagi fajar akan segera tiba. Ayam lebih tahu bilamana fajar akan menyingsing.
Manu yang ditempatkan pada batang peo menjadi pengingat bagi orang Jawawawo bahwa waktu itu penting. Kurang tepat jika orang Jawawawo menghabiskan waktu hanya untuk bermalas-malasan dan tidur berkepanjangan. Orang Jawawawo harus selalu siap untuk menyambut hari baru dan bersikap optimis dalam menghadapi segala tuntutan di hari baru itu. Ayam yang tidak berakal budi selalu pasti untuk menyambut fajar di setiap paginya apalagi manusia yang berakal budi dan dianugerahi kesadaran penuh seharusnya lebih pasti untuk menyongsog hari baru.
Selain menjadi pengingat tentang pentingnya waktu, manu pada peo Jawawawo juga memberi arti tentang pola hidup yang benar. Hampir pasti bahwa ketika matahari terbenam ayam-ayam sudah berada di atas dahan-dahan pohon. Ketika fajar tiba, mereka akan segera meninggalkan dahan-dahan itu dan mulai mencari makan. Pesan untuk orang Jawawawo dari simbol manu ini dalam hubungannya dengan nilai moral adalah bahwa malam hari adalah waktu yang tepat untuk ada bersama keluarga, membersihkan diri setelah seharian penuh berjibakau di ladang, beristirahat yang panjang untuk menyiapkan fisik menghadapi hari baru. Malam tidak harus identik dengan dunia yang liar, hiruk pikuk dan kotor, orang Jawawawo harus sudah ada di rumah masing-masing ketika hari sudah malam, tidak harus berkeliaran ke mana-mana.
Dengan demikian, simbol manu pada kedua sisi peo menjadi sangat sentral bagi orang Jawawawo baik dalam persiapan menyambut hari baru, penghargaan terhadap waktu dan penataan moralitas kehidupan.
 Makna Simbol Kodo
Selain manu, di atas puncak dari saka nda’a rua terdapat seekor burung pada masing-masing saka nda’a. Masyarakat sekitar memberi nama pada burung di atas puncak tiang peo ini dengan nama kodo. Dalam bahasa Indonesia kodo adalah burung tekukur. Burung tekukur ini berasal dari ras merpati sehingga ada banyak kemiripan yang ditemukan antara burung tekukur dan burung merpati. Perbedaannya terletak pada bentuk tubuh di mana burung tekukur memiliki ekor yang lebih panjang dan ramping dibandingkan burung merpati.
Salah satu kekhasan dari tekukur yang hampir sama dengan merpati adalah kesetiaannya pada pasangan. Jika kita perhatikan pada saat mencari makan di bawah tanah, burung tekukur akan selalu berpasangan. Meski berada dalam satu gerombolan yang besar namun tekukur selalu memiliki pasangannya masing-masing. Kekhasan lainnya dari burung tekukur yang juga dimiliki oleh merpati adalah kebiasaannya untuk sering berada di bawah tanah. Tekukur tidak seperti burung lain yang berlama-lama di pohon dan beterbangan dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya.
Burung tekukur mengajarkan kesetian dan kerendahan hati. Tekukur selalu setia dengan pasangan dan mereka lebih senang untuk berada di bawah tanah ketimbang bermain di atas langit. Ketinggian sering diidentikkan dengan kesombongan tetapi tekukur lebih memilih untuk sesering mungkin memijakkan kakinya di tanah.
Orang Jawawawo merasa penting untuk menyertakan tekukur atau kodo dalam unsur-unsur kebudayaan mereka. Simbol kodo dipahat lalu diletakkan pada puncak dari saka nda’a rua peo. Kodo menjadi simbol yang diletakkan pada tempat paling tinggi dibandingkan dari simbol-simbol lain yang ada pada tubuh peo.
Lasarus Gani menuturkan bahwa kodo adalah simbol dari roh, kekuatan, terang dan kebijaksanaan. Rembu kita ngai sia rende eda (semua kita bisa berpikir dengan baik dan bijaksana) karena ada roh. Hal ini menjadi alasan mengapa kodo ditempatkan di atas ujung.[2] Kekuatan dari kodo tercermin dalam ketidaktakutannya untuk berada di bawah tanah. Jika dibandingkan dengan kehidupan di atas pohon tentu kehidupan di bawah tanah lebih terancam. Tetapi kodo tidak akan pernah bersembunyi di atas pohon, kodo dengan penuh keberanian turun ke tanah untuk mencari makanan.
Melalui simbol kodo orang Jawawawo diajarkan untuk selalu setia dalam kehidupan, baik kesetiaan dengan pasangan hidup, setia dalam tugas dan kewajiban serta janji-janji yang dibuat. Selain itu orang Jawawawo juga diajarkan untuk selalu rendah hati dalam keseharian hidup mereka dan berani menghadapi tantangan hidup.



[2] Lasarus Gani, 52 Tahun, Tokoh Adat dan Tetua Adat, Wawancara, Jawawawo, 3 Juli 2014.

Jumat, 02 Oktober 2015

PEO JAWAWAWO: SIMBOL EKSPRESI RELIGIOSITAS MASYARAKAT UDU NUNU EKO SINA

foto by Figo Acm

Semua manusia tanpa terkecuali memiliki kemampuan untuk mencipta. Kemampuan mencipta yang dimiliki manusia membuatnya berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain. Di sisi lain kemampuan mencipta juga membuat manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya atau homo culturalis. Kebudayaan mempertegas dimensi manusia sebagai pencipta di dunia.[1] Dengan kemampuan akal budinya manusia bisa menghasilkan berbagai hal, baik berupa komponen-komponen material seperti benda, barang atau objek tertentu maupun komponen non material dalam bentuk nilai-nilai seperti nilai kognitif, estetis, etis dan religius. Jadi hanya manusialah yang bisa menciptakan kebudayaannya sendiri. Sehingga segala sesuatu yang tercipta di luar aktivitas manusia tidak bisa disebut sebagai hasil kebudayaan.
Kebudayaan adalah hasil aktivitas manusia, yaitu aktualisasi kemampuan-kemampuan yang ada dalam kodratnya. Karya manusia bersifat sadar dan bebas, dan berbeda dari aktivitas-aktivitas alamiah dan energi alam dan dari “karya” hewan yang tidak berefleksi.[2]
Fenomena-fenomena yang terlahir secara instingtif dan tidak dipelajari tidak bisa disebut sebagai hasil kebudayaan. Kebudayaan terwujud melalui proses belajar. Melalui proses belajar manusia mengenal dunia. Kebudayaan itu dipelajari, dan bukan diterima secara biologis. Kebiasaan-kebiasaan dan cara bertindak dipelajari dalam pengalaman hidup.[3] Sebagai contoh semut-semut yang bersifat sosial, tidak dapat dikatakan memiliki suatu kebudayaan, walaupun memiliki tingkah laku yang teratur. Keteraturan semut tidak berasal dari proses belajar, tanpa pernah diajari cara melakukannya dan tanpa meniru kelakuan semut-semut lain.[4] Jadi kebudayaan selalu bermula dari proses belajar. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang menjadi milik manusia yang diperoleh melalui pembelajaran.[5]
Meskipun kebudayaan terlahir dari daya budi dan pikiran manusia, namun tidak semua aktivitas pikiran dan kehendak manusia adalah hasil kebudayaan. Apabila sesuatu yang dihasilkan itu terlahir dari satu individu saja dan dipraktekkan secara sendiri-sendiri maka belum bisa disebut sebagai kebudayaan. Hal semacam itu disebut sebagai kebiasaan pribadi, bukan suatu pola kebudayaan. Sesuatu disebut sebagai kebudayaan apabila sesuatu itu dimiliki bersama oleh suatu bangsa atau sekelompok orang.[6] Aktivitas manusia tergolong sebagai hasil kebudayaan jika hasil tersebut bersifat publik dan dipraktekkan secara umum, sekurang-kurangnya dalam kelompok penganut kebudayaan tersebut.
Ciri kebudayaan yang bersifat sosial atau publik tidak serta-merta harus bersifat universal dalam arti kebudayaan dari satu kelompok tertentu harus bisa diterima oleh semua kelompok budaya lain. Setiap kelompok dengan kekhasan pola pikirnya akan menghasilkan corak kebudayaan yang berbeda-beda. Corak kebudayaan yang dihasilkan suatu kelompok tidak bisa menegasikan corak kebudayaan dari kelompok lain meski praktik kebudayaan dari kelompok lain bertentangan dengan nilai-nilai yang diterima pada kelompok tertentu. Keberanian untuk menampar pipi sang ayah oleh seorang anak pada suku Yanomamo sangat dianjurkan. Pada budaya lain hal ini dilarang, karena menampar pipi ayah sendiri adalah tindakan yang sulit diterima. Namun intensi dasar tindakakn ini pada suku Yanomamo adalah untuk menempa keberanian generasi muda Yanomamo. Yanomamo adalah suatu masyarakat dalam mana permusuhan antar kelompok adalah umum dan biasa, sehingga tabiat yang kejam merupakan suatu sikap yang sangat berharga. Kebudayaan Yanomamo ini selaras dengan salah satu sifat kebudayaan yaitu sebagai hasil adaptasi dari lingkungan dan tuntutan kehidupan[7]. Contoh ini menegaskan bahwa manusia akan selalu berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan hidup dan tuntutan-tuntutan dari berbagai segi kehidupan yang menyertainya. Tutuntan-tuntutan dalam kehidupan dari setiap kelompok budaya pasti berbeda-beda. Hal ini yang menyebabkan kebudayaan terlahir dan berkembang secara berbeda pula. Menghadapi kenyataan seperti ini suatu sikap yang dituntut dari semua manusia sebagai pelaku budaya adalah saling mengakui dan menerima kekhasan budaya dari masing-masing kelompok.
Kebudayaan sebagai proses belajar dan hasil ciptaan akal budi manusia entah berkembang dalam masing-masing kelompok budaya secara berbeda-beda dan dimaknai secara berbeda-beda selalu menjadikan manusia sebagai tujuannya. Melalui kebudayaan, manusia diarahkan untuk mengembangkan diri menjadi pribadi yang utuh baik dalam pengembangan daya-daya vital maupun daya-daya psikis-rohani manusia.[8] Ada dua unsur kebudayaan yang mendukung pengembangan diri manusia, yaitu kebudayaan subjektif dan kebudayaan objektif.[9] Kebudayaan subjektif mencakup nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keyakinan dan pola pikir. Melalui nilai-nilai ini manusia menyempurnakan kosmos dan menghumanisasikan dirinya.[10] Sementara kebudayaan objektif adalah pernyataan diri dari kebudayaan subjektif. Kebudayaan objektif adalah hasil dari penghayatan nilai-nilai, pola pikir dan keyakinan dalam kebudayaan subjektif. Dengan kata lain kebudayaan objektif adalah hasil kebudayaan berupa alat dan benda-benda kebudayaan yang terungkap melalui hasil ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian dan agama.[11] Jadi dua unsur kebudayaan ini yang berpengaruh dalam perwujudan diri manusia.
Salah satu unsur kebudayaan objektif yang sangat penting dan menentukan adalah simbol-simbol kebudayaan. Simbol menjadi bagian dari komponen budaya material yang menjadi dasar terbentuknya kebudayaan.  Pentingnya simbol dalam kebudayaan membuat beberapa ahli mendefenisikan kebudayaan sebagai suatu sistem simbol dan tanda. Salah satunya adalah Talcott Parsons. Beliau memahami kebudayaan sebagai sistem tanda-tanda atau simbol-simbol. Menurutnya setiap masyarakat menghasilkan satu sistem tanda, simbol, pola, ide dan nilai yang berperan dalam mewujudkan kehidupan.[12] Robert Schreiter juga mendefenisikan kebudayaan sebagai hasil dari interaksi simbol atau tanda yang saling mendefenisikan atau saling memberi arti.[13] Suatu simbol menjadi berarti karena diberi arti oleh simbol yang lainnya dan turut mengambil bagian dalam simbol yang lain. Setiap simbol atau tanda yang saling berkaitan akan membentuk  suatu pola kebudayaan tertentu. Simbol dan tanda menjadi sangat sentral dalam pembentukkan kebudayaan yang pada akhirnya berperan juga dalam pembentukkan diri manusia. Pentingnya simbol kebudayaan dalam mewujudkan diri  manusia juga ditegaskan Geertz dalam tulisan berikut,
Supaya dapat menyususn pikiran-pikiran kita, kita mesti mengetahui bagaimana kita merasakan sesuatu. Dan untuk mengetahui bagaimana kita merasakan kenyataan, kita membutuhkan gambaran-gambaran sentimen publik yang hanya dapat dipenuhi oleh ritus, mitos, dan seni.[14]
Ritus, mitos dan seni yang dimaksudkan Geertz di atas adalah simbol-simbol kebudayaan. Dan manusia berkembang melalui simbol-simbol tersebut. Manusia menggunakan simbol-simbol kebudayaan tersebut untuk mewujudkan dan mengekspresikan diri serta mengungkapkan keyakinan-keyainannya. Maka benar apa yang dikatakan Ernest Cassirer bahwa manusia adalah homo simbolicus (makhluk yang mengenal simbol-simbol).[15] Melalui simbol-simbol yang dikenal itu manusia mampu menemukan makna dan pesan tentang dunia bagi dirinya.
Seperti halnya simbol-simbol secara umum hadir dalam bentuk kata atau barang, objek atau tindakan, dan peristiwa begitu pula dengan simbol-simbol dalam kebudayaan. Ada banyak bentuk simbol yang dapat ditemukan dalam setiap kebudayaan. Bahasa adalah salah satu contoh simbol kebudayaan dalam bentuk kata-kata, sementara patung, monumen, benda-benda adat, gambar, dan ikon adalah simbol kebudayaan dalam bentuk barang, kemudian ritual-ritual adat adalah contoh dari simbol kebudayaan dalam bentuk tindakan atau peristiwa. Simbol-simbol ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan setiap masyarakat dalam suatu kelompok budaya tertentu. Pentingnya peran simbol dalam mewujudkan kehidupan yang utuh menjadi salah satu alasan bagi kelompok masyarakat tertentu untuk terus menjaga simbol-simbol budaya tersebut.
Penghargaan yang tinggi terhadap simbol-simbol kebudayaan sebagai bagian penting dalam kehidupan berbudaya ditunjukkan oleh masyarakat suku Keo.[16] Salah satu simbol yang masih dipelihara dan dijunjung tinggi oleh orang-orang Keo adalah simbol adat peo. Peo adalah monumen adat berbentuk tiang bercabang dua. Peo sendiri terbuat dari kayu embu (cassia fistula) yang diukir membentuk beberapa relief binatang. Sementara itu pada beberapa bagiannya disertakan beberapa simbol lain seperti simbol ayam, burung tekukur dan siput. Peo sebagai simbol adat dipahami sebagai benda yang disakralkan, disucikan, dikhususkan, simbol persatuan dan simbol kepemilikan tanah, simbol relasi antara dunia manusia dan dunia Roh atau Tuhan Allah, simbol yang membuat orang sadar akan peran, tugas dan tanggungjawabnya dalam bermasyarakat.[17] Makna yang terkandung pada peo ini membuat masyarakat Keo menaruh penghargaan yang tinggi kepada simbol adat tersebut. Hal ini dibuktikan dengan masih terjaganya Peo pada setiap nua-nua pu’u[18] atau kampung-kampung pusat. Jadi, peo dianggap penting sebab  melaluinya manusia dibantu untuk membina relasi dengan sesama manusia, leluhur dan Tuhan.
Meski peo memiliki makna yang hampir sama untuk semua daerah di Keo namun setiap kampung memiliki makna khusus untuk peo yang didirikan itu. Untuk itu dalam tulisan ini penulis memfokuskan sasaran penulisan hanya pada peo di kampung Jawawawo yang berada di Desa Kotowuji Timur, Kecamatan Keotengah, Kabupaten Nagekeo, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat adat Jawawawo adalah salah satu kelompok masyarakat budaya pada suku Keo yang masih menganggap penting simbol-simbol dalam kebudayaan mereka. Salah satu simbol yang masih dijunjung tinggi oleh orang Jawawawo adalah peo. Peo diterima sebagai representasi leluhur di kampung Jawawawo dan dalam kehidupan mereka. Di samping itu orang Jawawawo juga meyakini adanya daya yang dipancarkan oleh peo tersebut. Peo diterima sebagai simbol yang mengatur keharmonisan hidup orang Jawawawo secara utuh khususnya dalam hubungan dengan sesama, leluhur dan Tuhan. Rasa hormat mereka terhadap peo dibuktikan dengan pemeliharaan simbol adat peo secara berkala.
Pada tahun 2002 lalu suatu musyawarah dalam forum terbuka atau te’e mere tenda dewa[19] anggota suku kampung Jawawawo memutuskan bahwa peo baru harus segera dibangun. Kondisi peo yang sudah semakin tua dan lapuk tidak bisa dibiarkan begitu saja. Maka pada tahun yang sama peo baru akhirnya dibangun menggantikan peo lama yang sudah berumur 50-an tahun itu. Peo bagi masyarakat Jawawawo menjadi sebuah monumen yang sakral sehingga harus selalu diperhatikan dan dijaga. Ketika peo yang lama tidak bisa dipertahankan lagi karena faktor usia maka pusi ta muri, kedhu ta mewu[20] menjadi suatu keharusan. Peo lama harus diganti dengan peo baru. Peo harus tetap kelihatan kokoh, kuat, agung dan sakral.
    Bagi masyarakat Jawawawo, peo tidak hanya sekedar simbol yang menandakan bahwa Jawawawo adalah kampung adat tetapi menjadi simbol religius dan sosial budaya. Peo adalah simbol kehadiran leluhur di tengah kehidupan orang Jawawawo. Melalui peo yang berdiri tegak orang Jawawawo mengenang kembali asal muasal nenek moyang mereka, kebajikan-kebajikan yang pernah dibuat leluhur, filosofi-filosofi hidup yang membentuk kepribadian orang Jawawawo dan Tuhan sebagai penyelenggara atas seluruh kehidupan. Peo memiliki daya yang mampu mempengaruhi seluruh aktivitas hidup orang Jawawawo, baik aktivitas jasmani maupun kehidupan rohani mereka, sehingga ketika peo lama sudah termakan usia maka para ketua suku dari semua suku di Jawawawo pun mulai mengadakan pertemuan untuk merencanakan pembuatan peo baru dan mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk melancarkan pembangunan peo baru itu. Pertemuan bersama ini dikenal sebagai tahap mutu mumu dhemu dema.[21] Peo baru harus segera dibuat agar orang Jawawawo tidak melupakan leluhur, tidak melupakan tempat asal, tidak melupakan kebajikan dan filosofi hidup yang pernah ditorehkan para leluhur dan tetap menaruh penghormatan terhadap leluhur yang pernah membentuk dan membangun kampung Jawawawo serta semua mereka yang pernah mendiami dan mengharumkan kampung adat tersebut.
Peo Jawawawo sudah digunakan sebagai simbol adat sejak pertama kali kampung Jawawawo dibangun yaitu pada masa embu[22] Riwu Tai dan terus bertahan hingga hari ini. Bila dihitung maka sudah empat kali peo Jawawawo dibangun. Peo pertama dibangun pada masa Kolo Sati Batu Sebho, peo kedua pada masa Nggajo Ndona Mado Wawo, peo ketiga pada masa Siga Daga Dhae Sebho, peo keempat pada masa Nggajo Legho Goa Mite.[23] Tentunya ada sesuatu dalam peo yang membuat peo tersebut terus dipelihara, dipertahankan dan dijaga hingga sekarang. Dan sesuatu itu sudah disebutkan di atas bahwa peo menjadi simbol kehadiran leluhur, kenangan akan kebajikan-kebajikan leluhur serta kenangan akan adanya Penyelenggara Tunggal kehidupan. Hal inilah yang membuat peo  selalu dipertahankan hingga saat ini. Ada suatu keyakinan pada masyarakat adat Jawawawo akan daya kekuatan dan inspirasi kehidupan yang datang dari peo. Keyakinan itu kemudian menjadi  bentuk religiositas bagi orang Jawawawo.
Religiositas semacam ini menjadi dasar kekuatan dan bertahannya simbol adat peo. Ernst Cassirer pernah mengatakan bahwa jauh sebelum menciptakan negara sebagai suatu bentuk organisasi sosial,  manusia sudah melakukan berbagai percobaan lain untuk menata keinginan-keinginan, perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikirannya yang terjadi dalam bentuk bahasa, mitos, agama, kesenian dan berbagai unsur kebudayaan lainnya.[24] Peo adalah bagian dari warisan kebudayaan yang dihasilkan para leluhur dan sudah hadir sebelum negara Indonesia terbentuk. Persatuan sudah tercipta dalam kelompok kecil kebudayaan jauh sebelum kemerdekaan dan peo menjadi simbol persatuan itu. Pemikiran-pemikiran, perasaan dan cara hidup sudah ditata di bawah kaki peo. Maka boleh diambil satu kesimpulan bahwa peo sebagai simbol telah menghadirkan religiositas bagi orang Jawawawo yang sudah ada sejak dahulu dan terus bertahan hingga saat ini. Sebagai simbolisasi ekspresi religiositas, peo Jawawawo pertama-tama bukan menjadi objek pujaan tetapi sebagai tugu peringatan atau monumen budaya dalam hubungan dengan roh para leluhur dan Wujud Tertinggi sebagai asal dan tujuan hidup mereka.[25]Peo adalah sarana, bukan tujuan. Peo menjadi suatu simbolisasi. Sebagai simbolisasi, peo menjadi sarana pendidikan yang mengandung nilai-nilai kehidupan. Melalui peo, orang Jawawawo ingat akan berkat Allah dan leluhur yang mereka terima dari dulu, sekarang dan waktu yang akan datang.



[1] J. W. M. Bakker, Filsafat Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hlm. 22.
[2] Frans Ceunfin, “Filsafat Budaya”, Manuskrip, Ledalero: 2004,  hlm. 118.
[3]Ibid., hlm. 18.
[4] Carol R. Ember dan Melvin Ember, “Konsep Kebudayaan” dalam T. O. Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 19.
[5] Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1971), hlm. 180.
[6]Ibid.,  hlm. 20-21. Bdk. Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 15.
[7] Bdk. Frans Ceunfin, Op.Cit., hlm. 20.
[8]Ibid., hlm. 122-123. Lihat juga J. W. M. Bakker, Op. Cit., hlm. 37.
[9] Bdk. Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia; Paradoks dan Seruan (Jogjakarta: Kanisius, 2004), hlm. 59.
[10] J. W. M. Bakker, Op. Cit., hlm. 38.
[11]Ibid., hlm. 38-48.
[12] Frans Ceunfin, Op.Cit., hlm. 27.
[13]Robert J. Schreiter,Rancang Bangun Teologi Lokal (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), hlm. 84.
[14]Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 98.
[15]Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Essei Tentang Manusia (Jakarta: PT. Gramedia, 1987), hlm. 40.
[16] Ada tiga suku besar di kabupaten Nagekeo yaitu suku Nage, Keo dan Toto. Suku Keo meliputi semua daerah di pantai Selatan mulai dari kecamatan Mauponggo, Keotengah dan Nangaroro. Sementar Jawawawo adalah bagian dari Kecamatan Keotengah.
[17] H. Primus Siu, “Nilai Dan Simbol Religius Perjamuan Raya (Nado Mere) Masyarakat Jawawawo: Studi Komparatif Inkulturatif Dengan Nilai-Nilai Ekaristi”, Tesis (Maumere: STFK Ledalero, 2012), hlm. 4.
[18]Nua berarti kampung, pu’u berarti batang. Jadi nua pu’u dimengerti sebagai kampung utama atau kampung pusat bagi beberapa kampung lainnya. Kampung-kampung lain diandaikan sebagai dahan-dahan dari batang utama.
[19]Te’e berarti tikar, mere berarti besar, tenda berarti ruang tamu, dewa berarti panjang. Secara harafiah te’e mere tenda dewa berarti tikar besar dan ruang tamu yang panjang. Namun sebenarnya te’e mere tenda dewa berarti suatu forum terbuka di mana semua orang berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan atau pekerjaan bersama yang akan dilakukan.
[20]Pusi berarti mengisi, muri berarti baru, ta berarti yang, kedhu berarti cabut, mewu berarti rusak atau hancur. Secara harafiah pusi ta muri kedhu ta mewu berarti isi yang baru dan cabut yang lama. Term ini memiliki makna yang mendalam bahwa yang jahat, buruk dan tidak baik dalam kehidupan mesti diganti dengan sesuatu yang baik dan benar.
[21]Mutu berarti berkumpul, mumu berarti mulut, dhemu berarti mempertemukan dema berarti lidah. Secara harafiah mutu mumu dhemu dema berarti mulut-mulut yang berkumpul dan mempertemukan lidah-lidah. Tapi sebenarnya mutu mumu dhemu dema berarti suatu pertemuan yang dilakukan secara bersama-sama di mana setiap orang bisa memberikan ide atau pendapatnya dalam mewujudkan suatu rencana bersama.
[22]Embu adalah sebutan untuk orang yang sudah tua baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, baik yang perempuan maupun yang laki-laki. Kata embu sama dengan kata kakek atau nenek dalam kosa kata bahasa Indonesia.
[23] Lasarus Gani, 52 Tahun, Tokoh Adat dan Tetua Adat, Wawancara, Jawawawo, 3 Juli 2014.
[24] Ernst Cassirer, Op.Cit., hlm. 98.
[25] H. Primus Siu, Op.Cit., hlm. 6.

Selasa, 22 September 2015

Figo Acm: KOLO SETOKO TALI SETEBU, AKU TAMPAMU BUTIRAN DEBU

KOLO SETOKO TALI SETEBU, AKU TAMPAMU BUTIRAN DEBU
(saat kesadaran sedikit ditipu di sebuah mall mewah, dan setelah sejenak kembali pulang ke Flores)

Oleh: Figo Acm

Ahh..luar biasa, baru di tempat ini saya ditipu. Dalam sebuah mall yang mewah di kota Jakarta hari berakhir tampa gelap dan pagi dimulai tampa melalui malam. Kalimat awal sedikit puitis, namun sebenarnya saya hanya mencoba menggambarkan bahwa ada ketakadilan yang menganga di tengah gemerlapnya kota Jakarta. Thomas Alva Edison menciptakan bola lampu setelah melalui ribuan percobaan. Kini bola lampu diciptakan dalam sekejap dan dalam sekejap pula hari yang seharusnya sudah menyentuh senja tetap kelihatan seperti siang yang terus bercahaya.

           Benar apa yang dikatakan Goenawan Mohammad, penulis caping dalam majalah tempo bahwa ada ketidakadilan di negeri ini. Dalam capingnya yang berjudul Mall beliau membandingkan ketidakadilan dalam penggunaan listrik. Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, di mana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores (Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIIII/ 07 - 13 Mei 2007).
          Banyak daerah di Flores yang belum dialiri listrik. Sebagai contoh di kabupaten Ende tepatnya di Megenura, sampai hari ini belum mendapat pasokan listrik padahal Megenura bukanlah daerah pedalaman, bahkan masih terhitung sebagai daerah pinggir kota Ende. Bagaimana nasibnya daerah Koekobho di Nagekeo yang boleh dibilang sebagai daerah pedalaman. Kiranya listrik yang dibutuhkan oleh orang-orang Koekobho tidak lebih besar dari tenaga listrik yang dipakai dalam satu ruangan dari beberapa ruangan pada sebuah mall mewah di kota  Jakarta.
         Setelah berlama-lama di dalam mall saya kemudian kaget ketika melihat jarum jam pada arloji tua peninggalan almarhun ayah tercinta. Malu pada diri sendiri setelah tahu bahwa kemajuan teknologi sempat menyihir kesadaran saya. ternyata hari sudah malam, ya malam yang mengenakkan aura siang bolong. Di dalam Mall kadang kita tidak menyadari bahwa waktu sedang berputar dari pagi ke siang dan siang ke malam lalu ke pagi lagi. Tetapi di kampung, di Flores nun jauh sana jam 6 sore berarti jendela harus segera ditutup dan pelita wajib dinyalakan, sembari beristirahat panjang sampai jago menjemput fajar tanda pagi telah tiba. Dan setelah memadamkan pelita dan memulai harinya lagi orang-orang di kampung sana tidak pernah berpikir bahwa mereka sedang mengalami ketakadilan. Begitupula dengan mereka di kota-kota besar yang lupa meng switch of kan saklar lampunya dan terus memuntahkan (meminjam kata-kata Goenawan Muhamad) kotoran ke langit dan bumi (emisi karbon).
       Ketidakadilan dalam kasus yang kecil seperti penggunaan listrik ini seharusnya tidak perlu terjadi. Listrik menurut Jokowi dalam pidato pembukaan Pemenangan Pilkada partai Nasdem menjadi kebutuhan yang sangat penting. Anak tidak akan dapat belajar dengan baik, usaha ekonomi mikro tidak akan berkembang, waktu akan dibuang percuma tampa adanya listrik. Demikian Jokowi mengungkapkan betapa pentingnya listrik. Pembangunan dan perkembangan Indonesia yang merata dan menyeluruh hanya akan menjadi speak doang apabila pasokan listrik hanya dikonsentrasikan pada mall-mall besar (sebagai contoh) dan membiarkan masyarakat di kampung berpegang teguh pada pelitanya.
       Seorang teman di suatu siang mengupdate statusnya demikian “kolo setoko tali setebu, aku tampamu butiran debu”. Sedikit melawak status dalam sosmed teman saya ini. Namun benar apabila tidak ada pemerataan pembangunan secara khusus untuk hal yang urgen dalam hal ini pasokan tenaga listrik ke daerah-daerah pedalaman, maka ina ama wue wari, ine bapa kae ari dan lain sebagainya akan sungguh-sungguh menjadi butiran debu yang hanya berpasrah dalam badai membiarkan diri diterbangkan angin. Perbedaan yang mencolok di atas membuat orang di kampung merasa hidup tampa negara, maka jelas butiran debu jadinya. Indonesia itu Pancasila, Pancasila itu kolo setoko tali setebu.
                                                                                                            Figo Acm
                                                                                               Jakarta, 22 September 2015


Jumat, 13 Maret 2015

INE KAMI A METU MITE ( simbol saka nda'a rua pada peo di kampung Jawawawo)


INE KAMI A METU MITE
( simbol saka nda'a rua pada peo di kampung Jawawawo)
FIGO ACM
 
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa peo adalah simbol utama persatuan masyarakat adat Nagekeo. Ada tiga jenis peo yang menggambarkan persatuan bagi orang Nagekeo. Yang pertama, peo muri adalah peo yang ditanam di tengah kampung dan berupa pohon yang masih hidup. Pohon beringin dan pohon reo biasanya dijadikan sebagai peo muri. Yang kedua, peo watu adalah peo berupa batu yang ditanam di tengah kampung, batu yang digunakan biasanya berbentuk lonjong dan memanjang. Yang ketiga adalah peo kaju, merupakan peo yang terbuat dari kayu bercabang dua berbentuk huruf V (biasanya terbuat dari kayu embu atau cassia fistula) yang dipotong dan dipahat membentuk relief-relief tertentu. Kayu embu (cassia fistula) sering digunakan untuk membuat peo kaju oleh karena mutunya yang tinggi, keras dan kuat. Ketiga jenis peo di atas sering dijumpai di kampung-kampung adat sekitar Nagekeo.
Meski ada jenis yang berbeda untuk beberapa kampung namun peo-peo  tersebut memberi satu makna yang sama yakni persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan menjadi makna yang diberi secara umum. Meski demikian ada makna-makna khusus yang dihayati secara berbeda-beda oleh setiap daerah. Misalnya peo di kampung Jawawawo selain membawa makna persatuan namun di sisi lain memiliki makna khusus untuk orang di kampung itu. Setiap cabang pada peo Jawawawo mengandung makna yang berlainan, cabang yang pertama bermakna tana odo watu ebho, sementara cabang yang lainnya tentang tana fai watu ana. Tetapi makna-makna khusus ini jika dikaji lagi sebenarnya bersumber pada nilai persatuan dan kesatuan. Tanah yang disimbolkan dengan dua cabang peo di atas merupakan tanah suku yang dimiliki oleh orang di kampung Jawawawo, Ua serta Romba Wawokota. Tanah-tanah tersebut menjadi milik masyarakat yang bernaung di bawah peo Jawawawo, oleh karenanya dua cabang peo tersebut menjadi simbol kesatuan tanah dari masyarakat di kampung-kampung tersebut. Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa peo memiliki makna persatuan dan kesatuan.
Perlu diketahui bahwa sebenarnya ada dua jenis peo di Jawawawo yaitu peo fai dan peo aki  (madhu). Peo fai merupakan peo yang terbuat dari kayu bercabang dua berbentuk huruf V. Sementara peo aki merupakan peo yang dipahat membentuk seorang laki-laki yang sedang duduk telanjang. Namun masyarakat luas jarang menyebut atau membedakan peo fai dan peo aki. Orang lebih mengenal dan menyebut peo aki sebagai madhu dan peo fai sebagai peo. Sehingga peo atau peo fai lebih familiar bagi masyarakat luas dan ketika orang menyebut kata peo maka pikiran mereka akan lebih tertuju pada peo fai yang bercabang dua itu. Dan orang Jawawawo sendiri juga lebih familiar untuk menyebut peo fai sebagai peo dan peo aki sebagai madhu. Dan kata peo yang saya pakai dalam tulisan ini selalu menunjuk pada peo fai.
       Hampir semua peo selalu memberi makna tersendiri, begitupula dengan peo di kampung Jawawawo yang juga menyimpan banyak makna tentang kehidupan. Bentuknya yang khas dan simbol-simbol yang terkandung dalam relief-relief yang dipahat serta aksesoris yang disertakan padanya mengandung sekian banyak makna yang menceritakan tentang sejarah dan menyimpan sekian banyak kebajikan tentang kehidupan. Nilai budaya dan nilai religius yang tinggi juga membingkai dalam monumen adat yang agung dan gagah ini. Sehingga tidaklah mengherankan jika ritual yang sakral dan pengorbanan yang tinggi dibuat selama berhari-hari ketika peo baru hendak dipugar dan ditanam ulang.
         Berhari-hari tari-tarian dibawakan mengiringi proses pembuatan peo, gong dan gendang ditabuh tampa henti, hewan kurban disembelih tak terhitung banyaknya. Harusnya ada sesuatu yang melatarbelakangi pengorbanan tampa pamrih ini. Jika diperhatikan sebenarnya tidaklah sulit untuk mendirikan sebatang kayu di tengah kampung, suatu pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam sehari saja. Tetapi kayu yang berdiri di tengah kampung Jawawawo dibuat berhari-hari dalam ritual yang sakral dengan berbagai jenis pengorbanan berupa waktu, tenaga, pikiran dan materi. Ternyata kayu bercabang dua itu bukanlah sekedar tiang kayu biasa, ukiran-ukiran di sekujur tubuh peo tidak dipahat sesuka hati, begitupula dengan aksesoris yang terpasang pada bagian-bagian peo tidak hanya sebagai penghias biasa. Ada sekian makna yang terungkap melalui tiang kayu yang dipahat indah itu beserta dengan ornamen yang tergantung di beberapa sisinya. Tiang peo itu menjadi sakral dengan darah hewan-hewan kurban, menjadi agung dengan gong gendang seta tari-tarian, menjadi berwibawa dengan pengorbana waktu, tenaga, pikiran dari orang-orang di kampung Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota.
     Ine kami a metu mite, ame kami a dadu tolo adalah ungkapan persatuan bagi ketiga kampung besar Ua, Jawawawo dan Romba Wawokota yang bernaung di bawah satu peo di kampung Jawawawo itu.Secara harafiah ungkapan di atas berarti orang-orang yang bernaung di bawah peo Jawawawo itu berasal dari satu moyang yang sama, berasal dari satu bapa dan ibu yang sama yaitu ine yang a metu mite dan ame yang a dadu tolo. Ungkapan ini menjadi semakin kuat dan mendalam ketika ine metu mite dan ame dadu tolo ini menjadi nama bagi simbol adat peo di kampung Jawawawo. Di Jawawawo ada dua jenis peo yaitu peo aki (madhu) dan peo fai. Dan masing-masing peo diberi nama seturut ungkapan persatuan di atas. Peo aki diberi nama ame dewa dan peo fai disebut ine mere. Ame dewa dan ine mere dapat ditafsir sebagai berikut. Ame dewa berarti bapa yang besar, tinggi, dan berwibawa sementara ine mere berarti ibu yang penuh kasih sayang, pelindung dan pemelihara. Jadi kedua peo di Jawawawo ini menjadi simbol kehadiran nenek moyang yang selalu menjaga dan melindungi anak cucunya agar tidak tercerai berai.
     Meski kedua peo di atas sama-sama bermakna persatuan dan kesatuan namun seturut tampilan fisik peo fai lebih menunjukkan pesan persatuan. Saka nda’a rua (cabang-cabang) yang menjadi bagian dari peo fai secara jelas menampilkan pesan itu. Cabang yang pertama menjadi lambang dari tana fai watu ana (selengkapnya ada pada kisah PI'A ROGO), sementara cabang yang lainnya merupakan lambang tana odo watu ebho (selengkapnya ada dalam sejarah API KA IA NAMBEnya Embu Riwu Ngongo). Kedua-duanya melambangkan persatuan tanah dari suku-suku di ketiga kampung besar Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota. Cabang tana fai watu ana menyimpan cerita tentang tanah yang diperoleh melalui perang dan keberanian sementara tana odo watu ebho menjadi pengingat akan tanah yang sudah diperoleh sejak dahulu kala dari nenek moyang di gunung Koto. Cabang-cabang peo tersebut sebenarnya menjadi pengingat bagi semua orang bahwa orang Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota memiliki tanahnya sendiri dan mereka berhak atas tanah-tanah itu. Semua orang di ketiga kampung ini akan beranggapan bahwa meski mereka tinggal berjauhan dalam kampung yang berbeda atau di daerah yang berbeda namun mereka tetap bersatu dalam satu saka nda’a yang sama. Tanah yang ada di Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota menjadi satu dalam saka nda’a tana fai watu ana dan saka nda’a tana odo watu ebho. Peo dengan saka nda,a rua ini menjadi dasar yang menguatkan persatuan orang di ketiga kampung besar ini.
        Saka nda’a rua pada peo menjadikan monumen adat ini terlihat unik. Dia bukan hanya terdiri dari satu batang kayu yang berdiri tegak saja tetapi harus bercabang dua dan cabangnya itu mesti terbuka ke atas seperti orang sedang merentangkan tangannya menengadah ke langit untuk memohon kepada Yang Ilahi. Saka nda,a rua bagaikan tangan yang terbuka dan siap untuk menerima rahmat dari Yang Ilahi. Ada nuansa kepasrahan dan keterbukaan pada bentuk peo saka nda’a rua ini. Peo dengan dua cabang ini juga sebenarnya mengingatkan orang Jawawawo bahwa ada Sesuatu di atas sana yang lebih tinggi dari segalanya. Peo seakan mengajak orang Jawawawo untuk tidak pernah lupa akan Yang di atas, orang Jawawawo harus senantiasa membuka hati dan dirinya untuk kehadiran Yang Ilahi.
           Selain menggambarkan keterbukaan pada Yang Ilahi saka nda’a rua juga identik dengan huruf V yang merupakan simbol dari perempuan atau lebih tepatnya simbol dari ibu yang melahirkan atau yang menghadirkan kehidupan baru. Memang kurang jelas bagi kita untuk memahami arti yang sebenarnya saka nda’a rua yang berbentuk V itu khusunya memahami itensi dari nenek moyang kita ketika menjadikan peo sebagai lambang persatuan adat. Namun jika dihubungkan dengan nama yang diberikan oleh orang Jawawawo kepada peo mereka yakni ine mere dan penggunaan secara umum kayu bercabang dua berbentuk huruf V sebagai peo fai maka pemberian makna peo fai sebagai ibu yang melahirkan dan memberi kehidupan dapatlah diterima. Ine mere atau peo fai orang Jawawawo dalam hubungannya denga saka nda’a rua sebagai simbol perempuan memiliki pesan bahwa orang Jawawawo, Ua dan Romba Wawokota pada dasarnya terlahir dari satu ibu yang sama, mereka datang dari satu moyang yang sama, mereka dikandung dari ine mere yang satu metu mite. Ini menjadi selaras dengan keyakinan orang Jawawawo bahwa ine kami a metu mite, ame kami a dadu tolo. Ungkapan yang bermakna bahwa orang Jawawawo berasal dari satu ibu dan ayah yang sama atau datang dari satu asal dan moyang yang sama. Ungkapan di atas oleh orang Jawawawo seakan menjadi motto persatuan mereka. Dalam peo ine mere bercabang dua yang terbuka ke langit ini orang Jawawawo bersatu.

Sekian.... 
STFK Ledalero 2015