Minggu, 25 Januari 2015

HUKUMAN MATI; ANTARA PRINSIP KESETIMPALAN DAN PRINSIP MARTABAT MANUSIA




HUKUMAN MATI; ANTARA PRINSIP KESETIMPALAN DAN PRINSIP MARTABAT MANUSIA
(Ditilik dari Gagasan Hukum Menurut Hegel)

OLEH: FIGO ACM


PENGANTAR
Setiap negara memiliki sistem hukumnya sendiri untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem hukum yang dibentuk bertujuan untuk menciptakan suatu kehidupan yang teratur, harmonis dan damai. Hukum yang dibuat selalu berhubungan dengan kehidupan orang banyak. Jadi hukum tidak dibuat demi kepentingan perorangan atau kelompok tertentu saja. Hukum yang berlaku universal dalam sebuah negara ini membenarkan prinsip hukum bahwa semua orang adalah sama dihadapan hukum.
Indonesia sebagai sebuah negara juga memiliki sistem hukumnya sendiri. Undang-Undang Dasar 1945 dengan penekanan pada penghargaan terhadap martabat manusia menjadi dasar bagi pembentukan hukum di Indonesia. Oleh karenanya hingga sekarang Indonesia dikenal sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi martabat manusia. Namun demikian tidak semua sistem hukum di Indonesia berdasar pada UUD 1945 dan menjunjung tinggi martabat manusia. Hukuman mati yang diterapkan di Indonesia bertolak belakang dengan nilai dasar UUD 1945 dan nilai-nilai kemanusiaan. Apakah hukuman mati masih harus dipertahankan ataukah segera dihapus demi penghormatan terhadap martabat manusia? Kita tahu bahwa martabat manusia adalah sesuatu yang melekat pada manusia, yang terberi karena manusia terlahir sebagai manusia.[1]
Hegel[2], filsuf kelahiran Stuttgart, Jerman berbicara tentang tujuan dasar dari hukum. Ia berbicara tentang pelanggaran hukum dan hukuman[3]. Pada kesempatan ini saya hendak menggali sistem hukum di Indonesia khususnya hukuman mati dan membandingkannya dengan konsep hukum menurut Hegel.
HUKUMAN MATI; DUALISME SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Cukup membingungkan ketika harus berbicara tentang sistem hukum di Indonesia. Ada UU yang menimbulkan kontroversi. UU tentang hukuman mati merupakan salah satu UU yang kontroversial. Seperti yang sudah disebutkan pada pengantar di atas bahwa semua sistem hukum di Indonesia memiliki dasarnya dalam UUD 1945 dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Namun dalam kenyataannya ada sekian banyak sistem hukum yang bertolak belakang dengan nilai-nilai dasar UUD 1945 tersebut. Pasal 21 UUD 1945 menekankan hak atas kehidupan. Bahwa semua orang berhak atas hidup dan kehidupannya. Tetapi apa makna dari pasal ini ketika negara mengesahkan UU tentang hukuman mati. Perlu diketahui bahwa ada 11 UU yang terancam pidana mati dan salah satunya adalah UU No 22 tahun 1997 tentang narkotika.[4] Saat ini ada 64 terpidana mati dan 5 orang diantaranya akan dieksekusi pada bulan Desember 2014 ini.[5] Mana yang harus dipilih antara pasal 21 UUD 1945 atau UU No 22 tahun 1997.
Di sisi lain Indonesia sudah meratifikasi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Tahun 2005 pemerintahan SBY telah meratifikasi kovenan hak-hak sipil politik di mana di dalamnya ditegaskan bahwa hak atas hidup merupakan hak semua manusia yang harus dijamin negara. Tetapi kovenan hak sipil politik tentang penghapusan hukuman mati tidak diratifikasi. Bandingkan saja DUNHAM pasal 3 dan 5, di situ tertulis bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi (pasal 3) dan tidak seorang pun boleh disiksa atau dianiaya, diperlakukan atau dihukum secara tidak berperikemanusiaan dalam bentuk apapun (pasal 5).[6] Ironinya hukuman mati masih dilegalkan di Indonesia. Sebenarnya apa tujuan dari ratifikasi jika negara masih mempertahankan sistem hukuman mati.
HUKUMAN MATI SETURUT KONSEP HUKUM MENURUT HEGEL
Perlu ditegaskan bahwa Hegel tidak berbicara tentang hukuman mati secara khusus, tetapi beliau berbicara tentang hukum dan hukuman secara umum. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam filsafat hukum Hegel yaitu gagasannya tentang hukuman yang setimpal dengan perbuatan atau sesuai dengan berat pelanggarannya[7] dan hukuman yang memperhatikan aspek martabat manusia[8]. Menurut Hegel, pelanggaran hukum tidak boleh dibiarkan. Setiap pelanggaran hukum harus diganjar sesuai dengan beratnya pelanggaran. Ini berarti negara harus mampu memilah-milah beratnya suatu pelanggaran dan hukuman jenis apa yang mesti diambil untuk dibebankan kepada pelaku sehingga suatu tindakan yang merugikan harus diganjar dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatan. Ini selaras denga pandangan Hegel tentang hukum sebagai tuntutan keadilan.[9] .
Apapun pelanggaran yang dibuat tetapi di hadapan hukum manusia mesti diperlakukan sebagai makhluk yang bermartabat. Hak-hak pelaku sebagai manusia mesti diperhatikan oleh para penegak hukum. Untuk itu Hegel menolak segala jenis hukuman yang mengarah pada perendahan martabat manusia. Hukuman yang diberikan atas dasar prinsip balas dendam, prevensi, ancaman dan membuat takut ditolak oleh Hegel[10]. Menurutnya, hukuman hanya tepat jika terjadi pelanggaran hukum dan demi tuntutan keadilan serta memperhatikan martabat manusia.
Jika kita melihat dua inti pemikiran Hegel tentang hukuman yang harus diberi kepada pelaku kejahatan maka akan ada dua jawaban yang saling bertentangan. Yang pertama, jika hukuman yang diganjar mesti setimpal dengan perbuatan maka hukuman mati bisa dibenarkan. Seorang manusia dengan kesadaran penuh dan secara terencana melakukan aksi pembunuhan bisa diganjar dengan hukuman mati. Perbuatan membunuh mesti diganjar secara setimpal. Ini berarti pelaku pembunuhan juga harus dibunuh agar prinsip kesetimpalan dapat diterima. Yang kedua, jika bertolak dari penghoramatan atas martabat manusia maka hukuman mati harus ditolak. Seorang pelaku kejahatan mesti dipandang sebagai makhluk yang rasional di hadapan hukum. Pelaku harus ditempatkan sebagai makhluk yang bermartabat. Dan hukuman yang diberikan tidak boleh merendahkan martabatnya itu. Dengan demikian hukuman mati tidak bisa dibenarkan.
MANA YANG HARUS DIPILIH; KESETIMPALAN ATAU MARTABAT MANUSIA
            Pemikiran Hegel tentang hukum sebenarnya belum sempurna. Dia masih menyisahkan persoalan yang sulit dipecahkan. Hegel tidak memberikan tolak ukur konkret tentang hukuman mana yang sesuai denga  suatu tindakan kejahatan. Ia hanya menegaskan bahwa martabat manusia yang bersangkutan tetap harus dihormati.[11] Ini menjadi kekurangan dari filsafat hukum Hegel. Namun kita harus memilih mana prinsip pertama yang harus dipilih di antara dua prinsip hukum Hegel ini. Apakah prinsip kesetimpalan yang dengan sendirinya akan membenarkan hukuman mati ataukah prinsip martabat manusia yang dengan jelas menolak hukuman mati.
Kesetimpalan dalam pemikiran Hegel menjerumuskan kita pada persoalan yang sulit dipecahkan. Namun jika dilihat secara saksama Hegel sebenarnya dengan tegas menolak prinsip balas dendam. Hukuman mati dalam kasus ini berhubungan dengan balas dendam. Pembunuhan yang dibalas dengan pembunuhan adalah bagian dari balas dendam. Balas dendam bertolak belakang dengan nilai kemanusiaan. Dan oleh karena itu mesti ditolak. Hegel tidak berbicara tentang hukuman mati, tetapi prinsip kesetimpalan tidak bisa diterapkan untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan penghilangan nyawa orang lain.
Untuk itu prinsip martabat manusia dalam menegakkan hukum harus menjadi yang pertama. Kita tidak perlu menerima secara lurus apa yang diuraikan Hegel. Tetapi kita harus memperhatikan secara khusus ketegasan Hegel tentang prinsip penghormatan terhadap martabat manusia. Hegel mengajak kita untuk membedakan secara tajam antara manusia dan binatang.[12] Secara umum Hegel sebenarnya mau menegaskan bahwa kita harus menolak segala bentuk hukuman yang kejam dan tak berperikemanusiaan. Dengan demikian hukuman mati harus ditolak sebab bersifat kejam dan merendahkan martabat manusia.
PENUTUP
Yang pertama dan paling utama dari suatu sistem hukum adalah keadilan. Semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Keadilan seturut pemikiran Hegel adalah perlakuan yang adil terhadap pelanggar hukum sebagai makhluk yang rasional dan bermartabat. Untuk itu hukuman mati tidak bisa dibenarkan sebab sifatnya diskriminatif terhadap pelanggar hukum.
Hukuman mati yang diterapkan di Indonesia harus ditolak sebab tidak memiliki dasar yang kuat baik itu berhubungan dengan nilai dasar UUD 1945dan DUNHAM juga dengan teori hukum dari Hegel yang melarang keras pelecehan martabat manusia seperti yang sudah dibahas di atas.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:
Ceunfin, Frans (ed.), Hak-Hak Asasi Manusia. Maumere: Ledalero, 2004.
Magnis Suseno, Franz , Pijar-Pijar Filsafat. Jogjakarta: Kanisius, 2005.
Tafsir, Ahmad,  Filsafat Umum. Bandung: Rosda, 2003.

JURNAL:
Budi Kleden, Paul, Pro dan Kontra Hukuman Mati. Jurnal Ledalero, 2006.

SUMBER INTERNET:


[1] Paul Budi Kleden, “Hukuman Mati Antara Argumen HAM dan KAM”, dalam JURNAL LEDALERO Vol. 5, No. 2, Desember 2006.
[2] Beliau lahir pada tahun 1770, ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan tahin 1791 meraih gelar doktor di bidang teologi pada Universitas itu. Tahun 1801 mengajar filsafat di Jena. Roh atau Spirit adalah pusat dari filsafat Hegel, beliau juga menekankan pentingnya filsafat sejarah, bahwa perkembangan manusia hadir dalam sejarah. Selanjutnya dalam filsafatnya beliau sering menggunakan metode dialektika (tesis, antitesis dan sintesis). Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda, 2003), hlm. 151-153.
[3] Bdk. Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat (Jogjakarta: Kanisius, 2005), hlm. 91.
[4] Edmond Leonardo,  “Hukuman Mati”, (http://www.kontras.org/hmati/index.php?hal=pers), diakses tanggal 1 Desember 2014.
[5] Sabrina Asril,“Terpidana Mati Kasus Narkoba”, (http://nasional.kompas.com/read/2014/12/8/11135661/Lima,Terpidana.Mati.Kasus.Narkoba, diakses tanggal 1 Desember 2014.
[6] Frans Ceunfin (edit.) Hak-Hak Asasi Manusia (Maumere: Ledalero, 2004), hlm. 31.
[7] Franz Magnis-Suseno, op.cit., hlm. 94.
[8] Bdk. Ibid.
[9] Frans Magnis-Suseno, op.cit., hlm. 94.
[10] Ibid., hlm. 93.
[11] Ibid., hlm. 105.
[12] Ibid., hlm. 104.