HUKUMAN
MATI; ANTARA PRINSIP KESETIMPALAN DAN PRINSIP MARTABAT MANUSIA
(Ditilik
dari Gagasan Hukum Menurut Hegel)
OLEH: FIGO ACM
PENGANTAR
Setiap
negara memiliki sistem hukumnya sendiri untuk mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sistem hukum yang dibentuk bertujuan untuk menciptakan suatu
kehidupan yang teratur, harmonis dan damai. Hukum yang dibuat selalu
berhubungan dengan kehidupan orang banyak. Jadi hukum tidak dibuat demi
kepentingan perorangan atau kelompok tertentu saja. Hukum yang berlaku
universal dalam sebuah negara ini membenarkan prinsip hukum bahwa semua orang
adalah sama dihadapan hukum.
Indonesia
sebagai sebuah negara juga memiliki sistem hukumnya sendiri. Undang-Undang
Dasar 1945 dengan penekanan pada penghargaan terhadap martabat manusia menjadi
dasar bagi pembentukan hukum di Indonesia. Oleh karenanya hingga sekarang
Indonesia dikenal sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi martabat manusia. Namun
demikian tidak semua sistem hukum di Indonesia berdasar pada UUD 1945 dan menjunjung
tinggi martabat manusia. Hukuman mati yang diterapkan di Indonesia bertolak
belakang dengan nilai dasar UUD 1945 dan nilai-nilai kemanusiaan. Apakah
hukuman mati masih harus dipertahankan ataukah segera dihapus demi penghormatan
terhadap martabat manusia? Kita tahu bahwa martabat manusia adalah sesuatu yang
melekat pada manusia, yang terberi karena manusia terlahir sebagai manusia.[1]
Hegel[2],
filsuf kelahiran Stuttgart, Jerman berbicara tentang tujuan dasar dari hukum.
Ia berbicara tentang pelanggaran hukum dan hukuman[3].
Pada kesempatan ini saya hendak menggali sistem hukum di Indonesia khususnya
hukuman mati dan membandingkannya dengan konsep hukum menurut Hegel.
HUKUMAN
MATI; DUALISME SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Cukup
membingungkan ketika harus berbicara tentang sistem hukum di Indonesia. Ada UU
yang menimbulkan kontroversi. UU tentang hukuman mati merupakan salah satu UU
yang kontroversial. Seperti yang sudah disebutkan pada pengantar di atas bahwa
semua sistem hukum di Indonesia memiliki dasarnya dalam UUD 1945 dan menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan. Namun dalam kenyataannya ada sekian banyak sistem
hukum yang bertolak belakang dengan nilai-nilai dasar UUD 1945 tersebut. Pasal
21 UUD 1945 menekankan hak atas kehidupan. Bahwa semua orang berhak atas hidup
dan kehidupannya. Tetapi apa makna dari pasal ini ketika negara mengesahkan UU
tentang hukuman mati. Perlu diketahui bahwa ada 11 UU yang terancam pidana mati
dan salah satunya adalah UU No 22 tahun 1997 tentang narkotika.[4]
Saat ini ada 64 terpidana mati dan 5 orang diantaranya akan dieksekusi pada
bulan Desember 2014 ini.[5]
Mana yang harus dipilih antara pasal 21 UUD 1945 atau UU No 22 tahun 1997.
Di
sisi lain Indonesia sudah meratifikasi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia. Tahun 2005 pemerintahan SBY telah meratifikasi kovenan hak-hak sipil
politik di mana di dalamnya ditegaskan bahwa hak atas hidup merupakan hak semua
manusia yang harus dijamin negara. Tetapi kovenan hak sipil politik tentang
penghapusan hukuman mati tidak diratifikasi. Bandingkan saja DUNHAM pasal 3 dan
5, di situ tertulis bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan
keamanan pribadi (pasal 3) dan tidak seorang pun boleh disiksa atau dianiaya,
diperlakukan atau dihukum secara tidak berperikemanusiaan dalam bentuk apapun
(pasal 5).[6] Ironinya
hukuman mati masih dilegalkan di Indonesia. Sebenarnya apa tujuan dari
ratifikasi jika negara masih mempertahankan sistem hukuman mati.
HUKUMAN
MATI SETURUT KONSEP HUKUM MENURUT HEGEL
Perlu
ditegaskan bahwa Hegel tidak berbicara tentang hukuman mati secara khusus,
tetapi beliau berbicara tentang hukum dan hukuman secara umum. Ada dua hal
penting yang perlu diperhatikan dalam filsafat hukum Hegel yaitu gagasannya
tentang hukuman yang setimpal dengan perbuatan atau sesuai dengan berat
pelanggarannya[7]
dan hukuman yang memperhatikan aspek martabat manusia[8]. Menurut
Hegel, pelanggaran hukum tidak boleh dibiarkan. Setiap pelanggaran hukum harus
diganjar sesuai dengan beratnya pelanggaran. Ini berarti negara harus mampu memilah-milah
beratnya suatu pelanggaran dan hukuman jenis apa yang mesti diambil untuk
dibebankan kepada pelaku sehingga suatu tindakan yang merugikan harus diganjar
dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatan. Ini selaras denga pandangan
Hegel tentang hukum sebagai tuntutan keadilan.[9] .
Apapun
pelanggaran yang dibuat tetapi di hadapan hukum manusia mesti diperlakukan
sebagai makhluk yang bermartabat. Hak-hak pelaku sebagai manusia mesti
diperhatikan oleh para penegak hukum. Untuk itu Hegel menolak segala jenis
hukuman yang mengarah pada perendahan martabat manusia. Hukuman yang diberikan
atas dasar prinsip balas dendam, prevensi, ancaman dan membuat takut ditolak
oleh Hegel[10].
Menurutnya, hukuman hanya tepat jika terjadi pelanggaran hukum dan demi tuntutan
keadilan serta memperhatikan martabat manusia.
Jika
kita melihat dua inti pemikiran Hegel tentang hukuman yang harus diberi kepada
pelaku kejahatan maka akan ada dua jawaban yang saling bertentangan. Yang pertama, jika hukuman yang diganjar
mesti setimpal dengan perbuatan maka hukuman mati bisa dibenarkan. Seorang
manusia dengan kesadaran penuh dan secara terencana melakukan aksi pembunuhan
bisa diganjar dengan hukuman mati. Perbuatan membunuh mesti diganjar secara
setimpal. Ini berarti pelaku pembunuhan juga harus dibunuh agar prinsip
kesetimpalan dapat diterima. Yang kedua, jika
bertolak dari penghoramatan atas martabat manusia maka hukuman mati harus
ditolak. Seorang pelaku kejahatan mesti dipandang sebagai makhluk yang rasional
di hadapan hukum. Pelaku harus ditempatkan sebagai makhluk yang bermartabat.
Dan hukuman yang diberikan tidak boleh merendahkan martabatnya itu. Dengan
demikian hukuman mati tidak bisa dibenarkan.
MANA
YANG HARUS DIPILIH; KESETIMPALAN ATAU MARTABAT MANUSIA
Pemikiran Hegel tentang hukum
sebenarnya belum sempurna. Dia masih menyisahkan persoalan yang sulit
dipecahkan. Hegel tidak memberikan tolak ukur konkret tentang hukuman mana yang
sesuai denga suatu tindakan kejahatan.
Ia hanya menegaskan bahwa martabat manusia yang bersangkutan tetap harus
dihormati.[11]
Ini menjadi kekurangan dari filsafat hukum Hegel. Namun kita harus memilih mana
prinsip pertama yang harus dipilih di antara dua prinsip hukum Hegel ini.
Apakah prinsip kesetimpalan yang dengan sendirinya akan membenarkan hukuman
mati ataukah prinsip martabat manusia yang dengan jelas menolak hukuman mati.
Kesetimpalan
dalam pemikiran Hegel menjerumuskan kita pada persoalan yang sulit dipecahkan.
Namun jika dilihat secara saksama Hegel sebenarnya dengan tegas menolak prinsip
balas dendam. Hukuman mati dalam kasus ini berhubungan dengan balas dendam.
Pembunuhan yang dibalas dengan pembunuhan adalah bagian dari balas dendam.
Balas dendam bertolak belakang dengan nilai kemanusiaan. Dan oleh karena itu
mesti ditolak. Hegel tidak berbicara tentang hukuman mati, tetapi prinsip
kesetimpalan tidak bisa diterapkan untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan
penghilangan nyawa orang lain.
Untuk
itu prinsip martabat manusia dalam menegakkan hukum harus menjadi yang pertama.
Kita tidak perlu menerima secara lurus apa yang diuraikan Hegel. Tetapi kita
harus memperhatikan secara khusus ketegasan Hegel tentang prinsip penghormatan
terhadap martabat manusia. Hegel mengajak kita untuk membedakan secara tajam
antara manusia dan binatang.[12]
Secara umum Hegel sebenarnya mau menegaskan bahwa kita harus menolak segala
bentuk hukuman yang kejam dan tak berperikemanusiaan. Dengan demikian hukuman
mati harus ditolak sebab bersifat kejam dan merendahkan martabat manusia.
PENUTUP
Yang
pertama dan paling utama dari suatu sistem hukum adalah keadilan. Semua orang
harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Keadilan seturut pemikiran Hegel
adalah perlakuan yang adil terhadap pelanggar hukum sebagai makhluk yang
rasional dan bermartabat. Untuk itu hukuman mati tidak bisa dibenarkan sebab
sifatnya diskriminatif terhadap pelanggar hukum.
Hukuman
mati yang diterapkan di Indonesia harus ditolak sebab tidak memiliki dasar yang
kuat baik itu berhubungan dengan nilai dasar UUD 1945dan DUNHAM juga dengan
teori hukum dari Hegel yang melarang keras pelecehan martabat manusia seperti
yang sudah dibahas di atas.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU-BUKU:
Ceunfin,
Frans (ed.), Hak-Hak Asasi Manusia. Maumere:
Ledalero, 2004.
Magnis
Suseno, Franz , Pijar-Pijar Filsafat. Jogjakarta:
Kanisius, 2005.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Umum. Bandung: Rosda, 2003.
JURNAL:
Budi
Kleden, Paul, Pro dan Kontra Hukuman
Mati. Jurnal Ledalero, 2006.
SUMBER
INTERNET:
http://www.kontras.org/hmati/index.php?hal=pers http://nasional.kompas.com/read/2014/12/8/11135661/Lima,Terpidana.Mati.Kasus.Narkoba
[1] Paul
Budi Kleden, “Hukuman Mati Antara
Argumen HAM dan KAM”, dalam JURNAL
LEDALERO Vol. 5, No. 2, Desember 2006.
[2] Beliau
lahir pada tahun 1770, ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan tahin
1791 meraih gelar doktor di bidang teologi pada Universitas itu. Tahun 1801
mengajar filsafat di Jena. Roh atau Spirit adalah pusat dari filsafat Hegel,
beliau juga menekankan pentingnya filsafat sejarah, bahwa perkembangan manusia
hadir dalam sejarah. Selanjutnya dalam filsafatnya beliau sering menggunakan
metode dialektika (tesis, antitesis dan sintesis). Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda, 2003),
hlm. 151-153.
[3] Bdk.
Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat
(Jogjakarta: Kanisius, 2005), hlm. 91.
[4] Edmond
Leonardo, “Hukuman Mati”, (http://www.kontras.org/hmati/index.php?hal=pers),
diakses tanggal 1 Desember 2014.
[5] Sabrina Asril,“Terpidana Mati
Kasus Narkoba”, (http://nasional.kompas.com/read/2014/12/8/11135661/Lima,Terpidana.Mati.Kasus.Narkoba, diakses tanggal 1 Desember
2014.
[6] Frans
Ceunfin (edit.) Hak-Hak Asasi Manusia (Maumere:
Ledalero, 2004), hlm. 31.
[7] Franz
Magnis-Suseno, op.cit., hlm. 94.
[8] Bdk. Ibid.
[9] Frans
Magnis-Suseno, op.cit., hlm. 94.
[10] Ibid., hlm. 93.
[11] Ibid., hlm. 105.
[12] Ibid., hlm. 104.