KATA ADALAH BUNYI; ESTETIKA
PUISI DAN KONSEP KEPENYAIRAN SUTARDJI
FIGO ACM
STFK LEDALERO
KATA ADALAH BUNYI; KREDO PUISI DARI
PENYAIR ANEH
Sebelum
menganalisa dan mengkritisi kredo puisi Sutardji terlebih dahulu saya membaca
beberapa karya dari penyair “aneh” ini. Ada sekian puisi yang tidak dapat saya
pahami. Pernah saya mencoba untuk menafsirnya tetapi saya tidak tahu harus
memulainya dari mana. Ada kata-kata dalam puisi yang sungguh asing bagi saya,
boleh dikatakan bahwa beberapa kata yang diciptakan Sutardji belum pernah saya
temukan sebelumnya, dalam kamus besar bahasa Indonesia sekalipun. Berangkat
dari kenyataan ini maka saya menyebut Sutardji sebagai penyair “aneh”.
Keanehan
dari seorang Sutardji merangsang saya untuk meneliti lebih jauh maksud dari
sekian puisi anhenya itu. Seharusnya ada sesuatu yang diproklamasikan Sutardji
melalui karya-karyanya itu. Akhirnya apa yang dimaksudkan dari puisi-puisi itu
dapat saya pahami setelah saya membaca Kredo Puisi. Kredo puisi Sutardji
menjelaskan tentang “kata” yang mesti dibebaskan dari penindasan makna. Dalam
kredo itu Sutardji mengungkapkan perjuangannya untuk memurnikan diri “kata”. “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia
bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri.
Dia bebas”, demikian Sutardji dalam kalimat pembuka kredonya.
Di manakah kata mesti dibebaskan dan bagaimanakah kebebasan itu
terungkap? Sutardji menyebut puisi sebagai wadah pembebasan kata, namun puisi
yang dimaksudkan Sutardji bukanlah puisi seperti yang dipahami oleh sebagain
besar orang, yaitu puisi yang dapat ditafsir, dimengerti dan dimaknai. Puisi
bagi Sutardji ada bunyi. Bunyi menjadi inti dari puisinya, bunyi adalah roh
kebebasan dari “kata”. Sudah saya katakan sebelumnya bahwa betapa sulitnya
menafsir puisi Sutardji, karena tidak ada kesempatan bagi “kalimat” untuk
menjelaskan makna. Kadang rangkaian dalam kalimat puisi tidak memiliki hubungan
sama sekali, semisal contoh “yang paling mawar, yang paling sayap, dan yang
paling duri”. Ini adalah kata benda yang disifatkan oleh Sutardji. Namun jika
dibacakan oleh penyair akan terasa indah dan memiliki kekuatan tertentu.
Keindahan dan kekuatan yang terungkap melalui bunyi, bukan makna.
YANG POSITIF DAN NEGATIF DARI KREDO
PUISI
Sungguh jelas arah atau misi dari kredo puisi Sutardji yaitu
mengembalikan kata pada dirinya. “Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama
adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada
mantera”, demikian Sutardji dalam Kredo Puisinya. Mantera
adalah salah satu bentuk puisi lama yang paling tua. Merupakan salah satu jenis
tradisi lisan yang maksud penyampaiannya lebih penting dari maknanya. Kata
dalam mantra adalah bunyi. Di sini
jelas bahwa kata bukanlah pembawa makna bagi penggunanya. Ini sungguh bertolak
belakang dengan apa yang diyakini oleh Goenawan Muhammad. Dalam sebuah essainya
Goenawan menulis demikian, “Seorang penyair – tapi tak cuma seorang penyair — akan mengenal
keniscayaan kata: praktis, hanya melalui bahasa-lah kita bisa menangkap dunia.
Bahkan “ruang kosong dan angin pagi” yang ada di balik jagat yang “tersusun dar
kata” tak hanya kita kenali karena mata kita melihat ruang itu dan kulit kita
tersentuh oleh desau angin itu. “Ruang kosong dan angin pagi” kita kenali
karena kata telah menamai benda ini atau itu, menyebut perasaan ini atau itu.
Dengan kata itulah, atau lebih tepat dengan kata sebagai “penanda”, kita dapat
membedakan ruang kosong dengan celah, angin dengan badai, pagi dengan siang.
Dari pembedaan itu, kita memberi dan mendapatkan arti”. Searah dengan
apa yang ditulis oleh Goenawan ini dalam linguistik kita juga mengenal Semantik
dan Sintaksis. Semantik menjelaskan hubungan antara bahasa dengan objek di luar
bahasa. Sementara sintaksis membicarakan hubungan antar bahasa (kata). Dalam
Puisi-puisi Sutardji kita sulit menemukan dua unsur ini. Semantik dan sintaksis
tidak berlaku dalam deretan kata yang dibentuk Sutardji. Menurut saya Sutardji
terlalu radikal mendeskripsikan kata semata-mata hanya sebagai bunyi. Ini hemat
saya menjadi kelemahan dari Sutardji, sebab kata bukan hanya bunyi yang
“sia-sia”. Namun Sisi positif dari misi Sutardji ini seperti yang diungkapkan
oleh Ignas Kleden dalam harian Kompas adalah menerobos batas bahasa. Ternyata
bahasa tidak hanya membutuhkan sesuatu yang dapat dipahami. Semestinya ada yang
aneh, atau dalam bahasanya Ignas Kleden harus ada unsur sense dan nonsense.
Kehadiran yang nonsense membuat makna semakin tampak seumpama terang yang
semakin bercahaya dalam kegelapan. Sehingga apa yang dikonsepkan Sutardji bisa
dipakai sebagai bahan refleksi dalam perkembangan bahasa.
Pada akhirnya Kredo Puisi Sutardji menggambarkan kebebasan seorang
penyair. Di dalam puisinya Sutardji mendeskripsikan kata sebagai bunyi yang
terlepas dari fungsinya sebagai pemberi makna seperti pipa yang mengalirkan air
atau pisau yang mengiris bumbu. Kata adalah bunyi, bunyi adalah mantera, dan
puisi-puisinya lebih mendekati mantra-mantra gaib yang memiliki kekuatannya
sendiri yaitukekuatan rasa jika didaraskan. Kredo puisi, kata adalah bunyi
tidak lebih dari estetika puisi dan konsep kepenyairan Sutardji. Puisinya
adalah apa yang ia ungkapkan dalam Kredo. Pada mulanya adalah kata, dan kata
mesti dikembalikan ke asalnya yaitu mantera. SEKIAN.