Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan perbatasan sebagai
daerah atau jalur pemisah antara unit-unit politik (negara). Pengertian ini
menjurus pada adanya pemisahan yang jelas antara suatu wilayah dalam sebuah
negara dengan wilayah yang berbatasan dengan wilayah tersebut beserta segala
aspek yang berhubungan dengannya. Sebuah negara harus memiliki patokan yang
jelas mengenai batas-batas kekuasaannya terhadap sebuah wilayah.
Patokan-patokan itu begitu sensitif sehingga ketika ada yang mengusiknya maka
kekuatan militer dikerahkan untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang lebih
besar. Memang wajar sebab wilayah menjadi salah satu bukti kedaulatan dari
sebuah negara dan kedaulatan itu tidak boleh diganggu atau dilecehkan. Pemisah
harus jelas, patokan harus pasti, batas harus dihormati.
Batas menjadi pemisah. Bukan sekedar memisahkan suatu wilayah
dengan wilayah yang lainnya. Lebih besar dari itu batas menegaskan bahwa ini
adalah kami dan itu adalah kamu, dalam sekian banyak aspek baik dalam hal
wilayah, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Batas akhirnya menjadi sangat
sensitif. Masih teringat dalam benak kita ketika Indonesia menjadi begitu geram
ketika Malaysia mengklaim Reog Ponorogo, kain batik, angklung, dan rendang
sebagai kepunyaan mereka. Sangat beralasan jika Indonesia bereaksi keras setelah mendengar klaim-klaim
seperti itu. Sebab seni dan budaya tersebut sudah ada di Indonesia jauh
sebelumnya dan telah sekian lama membumi di Indonesia.
Namun ada persoalan-persoalan kompleks yang dihadapi
Indonesia dalam hubungannya dengan batas yang mesti diihat dan ditangani secara
bijak. Pada kesempatan ini saya melihat persoalan yang terjadi di perbatasan
Indonesia dan RDTL. Batas seperti yang telah disebutkan tadi bukan hanya berhubungan
dengan wilayah fisik tetapi berhubungan dengan segala sesuatu yang ada di
dalamnya termasuk budaya dan adat istiadat. Mungkinkah harus ada batas ketika
kita berbicara tentang adat dan budaya di antara dua negara yang dulu pernah
bersatu . Masyarakat perbatasan dua negara tersebut memiliki adat istiadat yang
mirip dan bahkan ada yang sama. Kendati berbeda negara, darah yang mengalir
dari tubuh-tubuh orang yang berada di wilayah perbatasan, justru menunjuk pada
suatu kesamaan yang sulit dipungkiri. Darah mereka mengalir dari asal dan
sumber yang satu dan sama yakni dari ‘citra manusia berbudaya’ yang terlahir
dari pusara pulau timor (Gregor Neonbasu, 2016: 352). Jelas di sini bahwa
Indonesia atau pun Timor Leste tidak bisa saling mengklaim bahwa adat dan
tradisi masyarakat perbatasan ini adalah milik kami dan bukan kepunyaan kamu.
SALING MENGHARGAI
SEBAGAI SAUDARA DAN SAUDARI
Dalam sebuah refleksi tentang kehidupan yang mesti dijalin di
antara masyarakat Timor Barat dan Timor Leste, Gregor Neonbasu menyebutkan
bahwa menjalin relasi dengan Timor Leste (RDTL) merupakan sebuah keharusan,
selain karena daerah tersebut pernah menjadi bagian integral dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (1975-1999), dan karena negara tersebut terletak
sangat (dekat) berdampingan dengan wilayah Negara Kesatuan RI, juga tersebab
oleh karena secara genealogis, daerah itu merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Pulau Timor. Sehingga secara geografik
maupun etnik, Timor Leste merupakan bagian sangat penting dan tidak
terpisahkan dari warga masyarakat Pulau Timor secara keseluruhan (Gregor
Neonbasu, 2016: 350). Jadi hubungan Indonesia dengan Timor Leste terjalin bukan
sekedar karena hanya adanya kesamaan dan kedekatan geografik tetapi pada budaya
dan adat istiadat yang mirip dan sama. Secara yuridis Indonesia dan Timor Leste
memang berbeda. Ada kepentingan-kepentingan dari masing-masing negara yang
harus dihormati. Indonesia harus menghormati Timor Leste dengan segala macam
urusannya dan sebaliknya Timor Leste wajib menghargai Indonesia dengan segala
urusannya pula. Semisal contoh ketika Timor Leste mencoba untuk menduduki
daerah steril di perbatasan beberapa bulan silam. Sebelumnya telah ada
kesepakatan bahwa di perbatasan ada daerah netral yang tidak boleh ditempati
oleh siapapun oleh sebab belum adanya keputusan yang pasti dan finis tentang
negara mana yang seharusnya memiliki daerah tersebut. Sehingga untuk sementara
waktu daerah tersebut harus dibebaskan atau istilanya disterilkan dari segala
macam aktifitas fisik dari pihak manapun. Namun dalam perjalanan waktu Timor Leste
mulai melakukan aktifitas fisik di atasnya dengan membangun gedung-gedung dan
pembuatan jalan raya. Ini berarti Timor Leste telah mengklaim wilayah steril
tersebut sebagai kepunyaan mereka. Indonesia tentu tidak dapat menerima
kenyataan ini, dan terjadilah sedikit gesekan ringan antara kedua negara.
Ini hanya menjadi contoh bahwa dua negara yang berdiri di
atas satu daratan yang sama dengan suatu cara hidup, tradisi dan budaya yang
sama kadang menciptakan suatu tantangan besar. Bahwa ada pemisahan yang jelas
di antara kedua negara mengenai batas-batas negara dan kewajiban untuk saling
menerima dan menghargai batas-batas itu adalah benar adanya. Namun garis
pemisah tersebut tidak serta merta memisahkan sosiallitas dan tradisi di antara
masyarakat kedua negara yang telah hidup dan menjadi cikal bakal pembentukan
jati diri orang-orang di daratan itu. Mengulangi kembali kutipan dibagian awal
tadi bahwa darah masyarakat di perbatasan mengalir dari asal dan sumber yang
satu dan sama yakni dari “citra manusia berbudaya” yang terlahir dari pusara
pulau Timor. Citra manusia yang sudah ada jauh sebelum batas-batas pemisah
wilayah itu diciptakan secara sengaja. Semua warga pada kawasan perbatasan
masih memiliki ikatan kekerabatan yang sangat kental. Butir-butir budaya,
warna-warni warisan tradisi lisan dan nilai-nilai kehidupa sosial
kemasyarakatan yang terpatri dalam diri warga kedua domain, ternyata sama dan
bahkan ada sekian banyak dimensi
kehidupan yang terlihat sebangun (Gregor Neonbasu, 2016: 351). Yang perlu
digarisbawahi di sini adalah suatu peringatan untuk kita semua secara khusus
pihak pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat bahwa garis
batas wilayah yang dibuat tidak serta merta memisahkan kehidupan masyarakat
kedua negara yang hidup di perbatasan itu. Boleh ada pemisahan yang tegas
tentang batas-batas itu tetapi bukan untuk batas-batas sosial dan budaya dari
kedua masyarakat. Pemerintah harus menemukan cara yang tepat untuk terus
memupuk dan mempertahankan tali persaudaraan antara masyarakat kedua negara di
perbatasan tersebut.
MENEMUKAN TITIK SIMPUL
Gregor Neonbasu dalam refleksinya tentang masyarakat di
daerah perbatasan dan bagaimana cara untuk memperkuat tali persaudaraan di antara
mereka menyebutkan bahwa dalam rangka menjalin relasi di antara warga di daerah
perbatasan harus diletakkan pada mencari titik simpul di sela-sela kehidupan keluarga dan
masyarakat untuk mencipta dinamika komunitas hidup bersama yang harmonis. Tradisi lisan, warisan leluhur, adat istiadat
dan nilai-nilai budaya serta folkways dan
model kehidupan sosial yang selama ini sangat dijunjung tinggi, hendaknya
diperhatikan untuk dijadikan sebagai medium pendekatan yang terpuji (Gregor
Neonbasu, 2016: 352). Hal-hal yang sudah disebutkan itu merupakan penjabaran
dari citra manusia berbudaya. Citra itu harus diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari. Gregor melanjutkan bahwa
pengalaman masa lampau tidak pernah meracuni perasaan akan kesamaan tradisi
lisan. Warisan leluhur dan budaya akan senantiasa membentuk hati setiap warga
untuk saling membangun relasi kekeluargaan yang harmonis. Dalam arti walau
masyarakat dibagi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang berbeda, namun
hati mereka tetap menjadi satu oleh karena ikatan keluarga, pertalian suku yang
ditandai oleh esensi genealogi yang satu dan sama (Gregor Neonbasu, 2016: 353).
Inilah jalan yang mesti dipilih untuk membangun relasi di perbatasan
antara dua masyarakat berlainan negara tetapi memiliki satu darah dalam budaya.
Batas wilayah mesti dipisahkan secara tegas tetapi ruang lingkup relasi kehidupan
sosial dan budaya harus dibiarkan terbuka bebas. Tali persaudaraan di antara
kita harus tetap dijalin dengan baik walau bendera kita berbeda.
*BACA BUKUNYA GREGOR NEONBASU SVD "CITRA MANUSIA BERBUDAYA".