Rabu, 11 Mei 2016

MENGOKOHKAN CITRA MANUSIA BERBUDAYA DI PERBATASAN RI-RDTL

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan perbatasan sebagai daerah atau jalur pemisah antara unit-unit politik (negara). Pengertian ini menjurus pada adanya pemisahan yang jelas antara suatu wilayah dalam sebuah negara dengan wilayah yang berbatasan dengan wilayah tersebut beserta segala aspek yang berhubungan dengannya. Sebuah negara harus memiliki patokan yang jelas mengenai batas-batas kekuasaannya terhadap sebuah wilayah. Patokan-patokan itu begitu sensitif sehingga ketika ada yang mengusiknya maka kekuatan militer dikerahkan untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar. Memang wajar sebab wilayah menjadi salah satu bukti kedaulatan dari sebuah negara dan kedaulatan itu tidak boleh diganggu atau dilecehkan. Pemisah harus jelas, patokan harus pasti, batas harus dihormati. 
 
Batas menjadi pemisah. Bukan sekedar memisahkan suatu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Lebih besar dari itu batas menegaskan bahwa ini adalah kami dan itu adalah kamu, dalam sekian banyak aspek baik dalam hal wilayah, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Batas akhirnya menjadi sangat sensitif. Masih teringat dalam benak kita ketika Indonesia menjadi begitu geram ketika Malaysia mengklaim Reog Ponorogo, kain batik, angklung, dan rendang sebagai kepunyaan mereka. Sangat beralasan jika Indonesia  bereaksi keras setelah mendengar klaim-klaim seperti itu. Sebab seni dan budaya tersebut sudah ada di Indonesia jauh sebelumnya dan telah sekian lama membumi di Indonesia. 

Namun ada persoalan-persoalan kompleks yang dihadapi Indonesia dalam hubungannya dengan batas yang mesti diihat dan ditangani secara bijak. Pada kesempatan ini saya melihat persoalan yang terjadi di perbatasan Indonesia dan RDTL. Batas seperti yang telah disebutkan tadi bukan hanya berhubungan dengan wilayah fisik tetapi berhubungan dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya termasuk budaya dan adat istiadat. Mungkinkah harus ada batas ketika kita berbicara tentang adat dan budaya di antara dua negara yang dulu pernah bersatu . Masyarakat perbatasan dua negara tersebut memiliki adat istiadat yang mirip dan bahkan ada yang sama. Kendati berbeda negara, darah yang mengalir dari tubuh-tubuh orang yang berada di wilayah perbatasan, justru menunjuk pada suatu kesamaan yang sulit dipungkiri. Darah mereka mengalir dari asal dan sumber yang satu dan sama yakni dari ‘citra manusia berbudaya’ yang terlahir dari pusara pulau timor (Gregor Neonbasu, 2016: 352). Jelas di sini bahwa Indonesia atau pun Timor Leste tidak bisa saling mengklaim bahwa adat dan tradisi masyarakat perbatasan ini adalah milik kami dan bukan kepunyaan kamu.

SALING MENGHARGAI SEBAGAI SAUDARA DAN SAUDARI
Dalam sebuah refleksi tentang kehidupan yang mesti dijalin di antara masyarakat Timor Barat dan Timor Leste, Gregor Neonbasu menyebutkan bahwa menjalin relasi dengan Timor Leste (RDTL) merupakan sebuah keharusan, selain karena daerah tersebut pernah menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (1975-1999), dan karena negara tersebut terletak sangat (dekat) berdampingan dengan wilayah Negara Kesatuan RI, juga tersebab oleh karena secara genealogis, daerah itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pulau Timor. Sehingga secara geografik  maupun etnik, Timor Leste merupakan bagian sangat penting dan tidak terpisahkan dari warga masyarakat Pulau Timor secara keseluruhan (Gregor Neonbasu, 2016: 350). Jadi hubungan Indonesia dengan Timor Leste terjalin bukan sekedar karena hanya adanya kesamaan dan kedekatan geografik tetapi pada budaya dan adat istiadat yang mirip dan sama. Secara yuridis Indonesia dan Timor Leste memang berbeda. Ada kepentingan-kepentingan dari masing-masing negara yang harus dihormati. Indonesia harus menghormati Timor Leste dengan segala macam urusannya dan sebaliknya Timor Leste wajib menghargai Indonesia dengan segala urusannya pula. Semisal contoh ketika Timor Leste mencoba untuk menduduki daerah steril di perbatasan beberapa bulan silam. Sebelumnya telah ada kesepakatan bahwa di perbatasan ada daerah netral yang tidak boleh ditempati oleh siapapun oleh sebab belum adanya keputusan yang pasti dan finis tentang negara mana yang seharusnya memiliki daerah tersebut. Sehingga untuk sementara waktu daerah tersebut harus dibebaskan atau istilanya disterilkan dari segala macam aktifitas fisik dari pihak manapun. Namun dalam perjalanan waktu Timor Leste mulai melakukan aktifitas fisik di atasnya dengan membangun gedung-gedung dan pembuatan jalan raya. Ini berarti Timor Leste telah mengklaim wilayah steril tersebut sebagai kepunyaan mereka. Indonesia tentu tidak dapat menerima kenyataan ini, dan terjadilah sedikit gesekan ringan antara kedua negara. 

Ini hanya menjadi contoh bahwa dua negara yang berdiri di atas satu daratan yang sama dengan suatu cara hidup, tradisi dan budaya yang sama kadang menciptakan suatu tantangan besar. Bahwa ada pemisahan yang jelas di antara kedua negara mengenai batas-batas negara dan kewajiban untuk saling menerima dan menghargai batas-batas itu adalah benar adanya. Namun garis pemisah tersebut tidak serta merta memisahkan sosiallitas dan tradisi di antara masyarakat kedua negara yang telah hidup dan menjadi cikal bakal pembentukan jati diri orang-orang di daratan itu. Mengulangi kembali kutipan dibagian awal tadi bahwa darah masyarakat di perbatasan mengalir dari asal dan sumber yang satu dan sama yakni dari “citra manusia berbudaya” yang terlahir dari pusara pulau Timor. Citra manusia yang sudah ada jauh sebelum batas-batas pemisah wilayah itu diciptakan secara sengaja. Semua warga pada kawasan perbatasan masih memiliki ikatan kekerabatan yang sangat kental. Butir-butir budaya, warna-warni warisan tradisi lisan dan nilai-nilai kehidupa sosial kemasyarakatan yang terpatri dalam diri warga kedua domain, ternyata sama dan bahkan ada sekian banyak dimensi  kehidupan yang terlihat sebangun (Gregor Neonbasu, 2016: 351). Yang perlu digarisbawahi di sini adalah suatu peringatan untuk kita semua secara khusus pihak pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat bahwa garis batas wilayah yang dibuat tidak serta merta memisahkan kehidupan masyarakat kedua negara yang hidup di perbatasan itu. Boleh ada pemisahan yang tegas tentang batas-batas itu tetapi bukan untuk batas-batas sosial dan budaya dari kedua masyarakat. Pemerintah harus menemukan cara yang tepat untuk terus memupuk dan mempertahankan tali persaudaraan antara masyarakat kedua negara di perbatasan tersebut.

MENEMUKAN TITIK SIMPUL
Gregor Neonbasu dalam refleksinya tentang masyarakat di daerah perbatasan dan bagaimana cara untuk memperkuat tali persaudaraan di antara mereka menyebutkan bahwa dalam rangka menjalin relasi di antara warga di daerah perbatasan harus diletakkan pada mencari titik simpul  di sela-sela kehidupan keluarga dan masyarakat untuk mencipta dinamika komunitas hidup bersama yang harmonis.  Tradisi lisan, warisan leluhur, adat istiadat dan nilai-nilai budaya serta folkways dan model kehidupan sosial yang selama ini sangat dijunjung tinggi, hendaknya diperhatikan untuk dijadikan sebagai medium pendekatan yang terpuji (Gregor Neonbasu, 2016: 352). Hal-hal yang sudah disebutkan itu merupakan penjabaran dari citra manusia berbudaya. Citra itu harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.  Gregor melanjutkan bahwa pengalaman masa lampau tidak pernah meracuni perasaan akan kesamaan tradisi lisan. Warisan leluhur dan budaya akan senantiasa membentuk hati setiap warga untuk saling membangun relasi kekeluargaan yang harmonis. Dalam arti walau masyarakat dibagi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang berbeda, namun hati mereka tetap menjadi satu oleh karena ikatan keluarga, pertalian suku yang ditandai oleh esensi genealogi yang satu dan sama (Gregor Neonbasu, 2016: 353).

Inilah jalan yang mesti dipilih untuk membangun relasi di perbatasan antara dua masyarakat berlainan negara tetapi memiliki satu darah dalam budaya. Batas wilayah mesti dipisahkan secara tegas tetapi ruang lingkup relasi kehidupan sosial dan budaya harus dibiarkan terbuka bebas. Tali persaudaraan di antara kita harus tetap dijalin dengan baik walau bendera kita berbeda.

*BACA BUKUNYA GREGOR NEONBASU SVD "CITRA MANUSIA BERBUDAYA".