RELIGIOSITAS MAKHLUK
RELIGIUS
FIGO ACM
STFK LEDALERO 2015
Manusia
diciptakan Tuhan sebagai makhluk paling sempurna dibandingkan dengan ciptaan
lainnya. Manusia dikarunia dengan akal budi yang membuatnya mengatasi segala
makhluk yang lain. Meski demikian manusia menyadari bahwa masih ada sesuatu
yang lebih tinggi daripadanya. Manusia menyadari kekurangannya itu dan berusaha
untuk menemukan sesuatu yang lebih tinggi itu. Kesadaran akan sesuatu yang
lebih tinggi itu membuat manusia disebut sebagai makhluk yang religius. Makhluk
yang mampu memahami yang transenden, yang ada di luar dan mengatasi dirinya,
dan manusia mampu menjangkaunya.[1] Kesadaran
manusia menghantar manusia untuk bertemu dengan yang transenden dan pertemuan
atau perjumpaan itu disebut sebagai pengalaman religius. Pengalaman religius
adalah suatu pandangan atau visi yang secara intuitif melihat bahwa Allah hadir
dalam dunia dan dalam kehidupan manusia. Secara mendalam, manusia merasa
hidupnya terarah kepada kenyataan yang luhur, terarah kepada kepenuhan dan
Allah sebagai jawaban terakhir atas pertanyaan manusia, dari mana aku datang
dan ke mana aku akan pergi.[2] Jadi
kereligiusan manusia itu muncul karena adanya kesadaran akan sesuatu di luar
diri yang lebih tinggi yaitu Yang Ilahi atau Allah dan manusia terdorong untuk
menjumpainya.
Sebagian
besar orang sering menyamakan religius dan religiositas, religiositas kadang
dimengerti sebagai agama tetapi sebenarnya ada perbedaan mendasar antara
religius dan religiositas. Salah satu contoh yang membedakan religiositas dan
agama adalah ketika orang yang berasal dari sebuah etnis yang sama tidak harus
memiliki satu agama yang sama. Setiap orang bebas untuk memeluk agama sesuai dengan
religiositas pribadinya.[3]
Semisal contoh Suku Keo di Keo Tengah, meski hanya memiliki satu budaya dan
bahasa tetapi terdapat dua agama di dalamnya yakni agama Islam dan Katolik. Ini
menunjukkan bahwa religiositas setiap individu di Suku Keo tidak harus selalu
sama. Dan hal ini menegaskan bahwa religositas itu berbeda dengan agama.
Religiositas lebih luas cakupannya dari agama karena ia ada dalam setiap
individu dan sudah merupakan pilihan pribadi.[4]
Agama mengatur atau melembagakan religiositas manusia dan mengaturnya melalui
dogma, kultus atau ibadat, moral atau etika. Religiositas menjadi jiwa dari
agama. Tampa adanya religiositas, agama menjadi kering dan tampa penjiwaan.[5]
Dengan demikian agama akan menjadi seperti sebuah ideologi belaka yang terpisah
dari Allah. Orang hanya tahu tentang dogma dan aturan dalam agama, mengikuti
peribadatan dengan tekun tetapi tidak memiliki orientasi untuk berjumpa dengan
Allah. Agama seperti ini adalah agama yang kehilangan jiwanya, agama tampa
religiositas.
Agama
adalah sarana belaka agar manusia lebih mudah untuk menemukan jalan ke Tuhan.
Agama itu tidak pernah identik dengan Allah. Lalu sanggupkah agama menjadi
penolong bagi sesama untuk menemukan rahmat Allah?[6]
Dengan menggunakan kesadarannya manusia bisa menjadikan agama untuk bertemu
dengan Yang Maha Tinggi. Cara dan jalan yang ditempuh dengan kendaraan agama
oleh setiap individu untuk bertemu dengan Yang Maha Tinggi itulah yang
dinamakan religiositas. Manusia yang religius akan berusaha untuk bertemu
dengan yang Ilahi, menemukan rahmat dan kasihNya. Jadi ada suatu hubungan yang
erat antara manusia yang religius dengan religiositas yang dimiliki oleh setiap
individu. Religiositas dalam diri para penganutnya akan menjadi dasar yang
membuat agama dapat berkembang secara kreatif.[7]
[1] Agus M.
Hardjana, Op. Cit., hlm. 28.
[2] Jacobus
Tarigan, Op. Cit., hlm. 1.
[3] Bdk.
Budi Kleden, Kampung Bangsa Dunia (Yogyakarta:
Lamalera, 2008), hlm. 182.
[4] Budi
Kleden, Op. Cit., hlm. 182.
[5] Cristologus
Dhogo, Loc. Cit.
[6] Y. B.
Mangunwijaya, Op. Cit., hlm. 60.
[7] Cristologus
Dhogo, Loc. Cit. Hlm. 71.