Senin, 16 Februari 2015

RELIGIOSITAS MAKHLUK RELIGIUS



RELIGIOSITAS MAKHLUK RELIGIUS
FIGO ACM
STFK LEDALERO 2015

Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk paling sempurna dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Manusia dikarunia dengan akal budi yang membuatnya mengatasi segala makhluk yang lain. Meski demikian manusia menyadari bahwa masih ada sesuatu yang lebih tinggi daripadanya. Manusia menyadari kekurangannya itu dan berusaha untuk menemukan sesuatu yang lebih tinggi itu. Kesadaran akan sesuatu yang lebih tinggi itu membuat manusia disebut sebagai makhluk yang religius. Makhluk yang mampu memahami yang transenden, yang ada di luar dan mengatasi dirinya, dan manusia mampu menjangkaunya.[1] Kesadaran manusia menghantar manusia untuk bertemu dengan yang transenden dan pertemuan atau perjumpaan itu disebut sebagai pengalaman religius. Pengalaman religius adalah suatu pandangan atau visi yang secara intuitif melihat bahwa Allah hadir dalam dunia dan dalam kehidupan manusia. Secara mendalam, manusia merasa hidupnya terarah kepada kenyataan yang luhur, terarah kepada kepenuhan dan Allah sebagai jawaban terakhir atas pertanyaan manusia, dari mana aku datang dan ke mana aku akan pergi.[2] Jadi kereligiusan manusia itu muncul karena adanya kesadaran akan sesuatu di luar diri yang lebih tinggi yaitu Yang Ilahi atau Allah dan manusia terdorong untuk menjumpainya.
Sebagian besar orang sering menyamakan religius dan religiositas, religiositas kadang dimengerti sebagai agama tetapi sebenarnya ada perbedaan mendasar antara religius dan religiositas. Salah satu contoh yang membedakan religiositas dan agama adalah ketika orang yang berasal dari sebuah etnis yang sama tidak harus memiliki satu agama yang sama. Setiap orang bebas untuk memeluk agama sesuai dengan religiositas pribadinya.[3] Semisal contoh Suku Keo di Keo Tengah, meski hanya memiliki satu budaya dan bahasa tetapi terdapat dua agama di dalamnya yakni agama Islam dan Katolik. Ini menunjukkan bahwa religiositas setiap individu di Suku Keo tidak harus selalu sama. Dan hal ini menegaskan bahwa religositas itu berbeda dengan agama. Religiositas lebih luas cakupannya dari agama karena ia ada dalam setiap individu dan sudah merupakan pilihan pribadi.[4] Agama mengatur atau melembagakan religiositas manusia dan mengaturnya melalui dogma, kultus atau ibadat, moral atau etika. Religiositas menjadi jiwa dari agama. Tampa adanya religiositas, agama menjadi kering dan tampa penjiwaan.[5] Dengan demikian agama akan menjadi seperti sebuah ideologi belaka yang terpisah dari Allah. Orang hanya tahu tentang dogma dan aturan dalam agama, mengikuti peribadatan dengan tekun tetapi tidak memiliki orientasi untuk berjumpa dengan Allah. Agama seperti ini adalah agama yang kehilangan jiwanya, agama tampa religiositas.
Agama adalah sarana belaka agar manusia lebih mudah untuk menemukan jalan ke Tuhan. Agama itu tidak pernah identik dengan Allah. Lalu sanggupkah agama menjadi penolong bagi sesama untuk menemukan rahmat Allah?[6] Dengan menggunakan kesadarannya manusia bisa menjadikan agama untuk bertemu dengan Yang Maha Tinggi. Cara dan jalan yang ditempuh dengan kendaraan agama oleh setiap individu untuk bertemu dengan Yang Maha Tinggi itulah yang dinamakan religiositas. Manusia yang religius akan berusaha untuk bertemu dengan yang Ilahi, menemukan rahmat dan kasihNya. Jadi ada suatu hubungan yang erat antara manusia yang religius dengan religiositas yang dimiliki oleh setiap individu. Religiositas dalam diri para penganutnya akan menjadi dasar yang membuat agama dapat berkembang secara kreatif.[7]



[1] Agus M. Hardjana, Op. Cit., hlm. 28.
[2] Jacobus Tarigan, Op. Cit., hlm. 1.
[3] Bdk. Budi Kleden, Kampung Bangsa Dunia (Yogyakarta: Lamalera, 2008), hlm. 182.
[4] Budi Kleden, Op. Cit., hlm. 182.
[5] Cristologus Dhogo, Loc. Cit.
[6] Y. B. Mangunwijaya, Op. Cit., hlm. 60.
[7] Cristologus Dhogo, Loc. Cit. Hlm. 71.