Kamis, 05 September 2013

KECEMASAN AKAN PERADILAN RAKYAT

KECEMASAN AKAN PERADILAN RAKYAT
(Terinspirasi dari Cerpen PERADILAN RAKYAT karya Putu Wijaya)
Oleh Figo ACM

Menang atau kalah bukanlah bagian dari suatu sistem peradilan. Yang benar harus diperjuangkan dan yang salah mesti diberantas. Ide tentang menang dan kalah turut mempengaruhi “yang benar dan yang salah”. Dalam ide seperti ini peradilan kemudian dikomersialkan menjadi sebuah bentuk perdagangan. Lembaga peradilan adalah institusi komersial yang meungkinkan kegiatan tawar menawar. Uang pada akhirnya menjadi dialog penutup atau kesimpulan untuk sebuah keputusan. Dewasa ini kekuatan harta mereduksi arah, prinsip, kode etik dan substansi dari lembaga peradilan.
Lembaga peradilan pada hakekatnya adalah sarana pencarian kebenaran. Setiap suara yang terbungkam mesti dibongkar. Dan dalam lembaga peradilan tentang sesuatu yang sulit terkatakan atau yang disembunyikan orang tidak harus selalu diam. Benar adalah benar sementara salah tidak bisa dibenarkan. Suara semacam ini mesti menjadi spiritualitas peradilan. Banyak kasus dalam peradilan sesat yang telah memancung spiritualitas keadilan itu sendiri. Tentu kita masi ingat akan vonis mati yang dijatuhkan kepada Tibo Cs. Pada waktu itu lembaga peradilan seakan-akan kehilangan kekuatan dan ketegasannya. Kesalahan para terdakwa tidak dapat dibuktikan namun tekanan dari massa mengalahkan prinsiup-prinsip dalam lembaga itu sendiri. Kini tugas lembaga peradilan adalah mengembalikan kepercayaan rakyat yang sempat tercoreng itu.
Peradilan negara yang kehilangan dirinya bisa menjelma menjadi “peradilan rakyat”. Dikisahkan bahwa seorang pengecara muda ternama yang terkenal jujur dan mencintai keadilan serta selalu berhasil dalam mmbela kebenaran pada akhirnya ditemukan hanya sebagai seonggokan mayat sesaat setelah ia berhasil menggagalkan hukuman mati terhadap seorang yang disebut negara dan massa sebagai “penjahat besar”. Ia dibunuh oleh orang yang tak dikenal karena dianggap membebaskan seorang penjahat besar yang dibenci rakyat banyak. Dalam kasus ini sehubungan dengan si pengecara pencari kebenaran muncul sebuah pertanyaan, “apakah dia yang disebut sebagai penjahat besar benar-benar adalah penjahat ataukah hanya merupakan sebuah rekayasa belaka untuk kepentingan tertentu. Dosa negara dalam kisah di atas adalah menyebarkan surat fitnah kepada segenap rakyat akan adanya seorang penjahat besar. Tanpa disadari negara telah melegitimasi peradilan rakyat. Di sisi lain kemenangan seorang penjahat membuat orang bertanya-tanya tentang profesionalisme si pengacara pencari keadilan. Mungkinkah ia adalah seorang “pebisnis keadilan”.  Mungkinkah si pengacara ini telah menerima sejumlah uang. Besar kemungkinan uang si penjahat besar telah menyumbat nafas keadilan dari negara dan lembaga peradilan yang telah mengadilinya secara tidak adil.
Dilema kisah dalam cerita singkat di atas mendorong saya untuk sedikit menerka kemungkinan yang dimaksudkan si pencerita. Saya mencoba melihat kasus dalam cerita di atas sebagai bagian dari aktifitas yang menyerupai aktifitas pasar di mana uang dan harta sering menjadi titik sentral untuk setiap dialog dan keputusam. Di pasar setiap transaksi diwarnai oleh tawar menawar. Setiap orang memperhitungkan kemungkinan akan keuntungan yang dapat diperolehnya. Ketika lembaga peradilan mengesampingkan eksistensinya seraya menjadikan wadah tersebut sebagai sarana mempertebal isi dompet maka tidaklah heran jika rakya  kemudian berpikir untuk membentuk suatu sistem peradilan sendiri. Suatu sistem gaya pasar, tampa hukum dan aturan yang pasti tetapi cukup pada kesepakatan, dialog,  dan tawar menawar. Alhasil si pengacara pencari keadilan itu kemudia pulang tampa nafas tersisa dalam rongga hidungnya. Nafas kehidupan sekaligus nafas keadilan berhembus pergi entah ke mana. Mungkin sebagai akibat dari peradilan rakyat, ketika mereka merasa tak puas dengan terbebasnya seorang penjahat besar. Sebuah pertanyaan, mengapa mesti ada peradilan rakyat, mengapa lembaga peradilan tak mampu menghukum orang yang melakukan kejahatan. Dan mungkinkah si pengacara telah membela orang yang sebenarnya benar tetapi dianggap jahat.
Negara semestinya memiliki kecemasan tersendiri akan kemungkinan terbentuknya “peradilan rakyat” (dalam kenyataan banyak peradilan rakyat yang sudah dibentuk). Dan jika benar maka sebenarnya kecemasan ini bisa dicegah, namun sayangnya negara keburu cemas. Saking takutnya pada amukan massa negara rela mengkhianati kemampuannya untuk menyelesaikan persoalan secara just (proses) dan fair (isi). Hanya demi memuaskan nafsu rakyat, keadilan dan kebenaran pun digantung, melayang-layang entah ke mana. Yang adil dan benar dalam konteks kecemasan negara adalah yang menyenangkan rakyat, yang sesuai dengan kemauan mereka, sesuai dengan ide serta gagasan massa. Sebuah kecemasan kemudian menimbulkan “peradilan rakyat” dan seorang pencari keadilan mesti menjadi tumbal, kembali setelah menjadi mayat. Tibo Cs kemudian menjadi mayat, Ahmadyah merana di negeri sendiri. Itulah gambaran keadilan di negriku Indonesia.

Ruang Kuliah, 3 September 2013

LEDALERO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar