KECEMASAN
AKAN PERADILAN RAKYAT
(Terinspirasi
dari Cerpen PERADILAN RAKYAT karya Putu Wijaya)
Oleh
Figo ACM
Menang atau
kalah bukanlah bagian dari suatu sistem peradilan. Yang benar harus
diperjuangkan dan yang salah mesti diberantas. Ide tentang menang dan kalah
turut mempengaruhi “yang benar dan yang salah”. Dalam ide seperti ini peradilan
kemudian dikomersialkan menjadi sebuah bentuk perdagangan. Lembaga peradilan
adalah institusi komersial yang meungkinkan kegiatan tawar menawar. Uang pada
akhirnya menjadi dialog penutup atau kesimpulan untuk sebuah keputusan. Dewasa
ini kekuatan harta mereduksi arah, prinsip, kode etik dan substansi dari
lembaga peradilan.
Lembaga
peradilan pada hakekatnya adalah sarana pencarian kebenaran. Setiap suara yang
terbungkam mesti dibongkar. Dan dalam lembaga peradilan tentang sesuatu yang
sulit terkatakan atau yang disembunyikan orang tidak harus selalu diam. Benar
adalah benar sementara salah tidak bisa dibenarkan. Suara semacam ini mesti
menjadi spiritualitas peradilan. Banyak kasus dalam peradilan sesat yang telah
memancung spiritualitas keadilan itu sendiri. Tentu kita masi ingat akan vonis
mati yang dijatuhkan kepada Tibo Cs. Pada waktu itu lembaga peradilan seakan-akan
kehilangan kekuatan dan ketegasannya. Kesalahan para terdakwa tidak dapat
dibuktikan namun tekanan dari massa mengalahkan prinsiup-prinsip dalam lembaga
itu sendiri. Kini tugas lembaga peradilan adalah mengembalikan kepercayaan
rakyat yang sempat tercoreng itu.
Peradilan
negara yang kehilangan dirinya bisa menjelma menjadi “peradilan rakyat”.
Dikisahkan bahwa seorang pengecara muda ternama yang terkenal jujur dan
mencintai keadilan serta selalu berhasil dalam mmbela kebenaran pada akhirnya
ditemukan hanya sebagai seonggokan mayat sesaat setelah ia berhasil
menggagalkan hukuman mati terhadap seorang yang disebut negara dan massa sebagai
“penjahat besar”. Ia dibunuh oleh orang yang tak dikenal karena dianggap
membebaskan seorang penjahat besar yang dibenci rakyat banyak. Dalam kasus ini
sehubungan dengan si pengecara pencari kebenaran muncul sebuah pertanyaan,
“apakah dia yang disebut sebagai penjahat besar benar-benar adalah penjahat ataukah
hanya merupakan sebuah rekayasa belaka untuk kepentingan tertentu. Dosa negara
dalam kisah di atas adalah menyebarkan surat fitnah kepada segenap rakyat akan adanya
seorang penjahat besar. Tanpa disadari negara telah melegitimasi peradilan
rakyat. Di sisi lain kemenangan seorang penjahat membuat orang bertanya-tanya
tentang profesionalisme si pengacara pencari keadilan. Mungkinkah ia adalah
seorang “pebisnis keadilan”. Mungkinkah si
pengacara ini telah menerima sejumlah uang. Besar kemungkinan uang si penjahat
besar telah menyumbat nafas keadilan dari negara dan lembaga peradilan yang
telah mengadilinya secara tidak adil.
Dilema kisah
dalam cerita singkat di atas mendorong saya untuk sedikit menerka kemungkinan
yang dimaksudkan si pencerita. Saya mencoba melihat kasus dalam cerita di atas
sebagai bagian dari aktifitas yang menyerupai aktifitas pasar di mana uang dan
harta sering menjadi titik sentral untuk setiap dialog dan keputusam. Di pasar
setiap transaksi diwarnai oleh tawar menawar. Setiap orang memperhitungkan
kemungkinan akan keuntungan yang dapat diperolehnya. Ketika lembaga peradilan
mengesampingkan eksistensinya seraya menjadikan wadah tersebut sebagai sarana mempertebal
isi dompet maka tidaklah heran jika rakya kemudian berpikir untuk membentuk suatu sistem
peradilan sendiri. Suatu sistem gaya pasar, tampa hukum dan aturan yang pasti tetapi
cukup pada kesepakatan, dialog, dan tawar
menawar. Alhasil si pengacara pencari keadilan itu kemudia pulang tampa nafas
tersisa dalam rongga hidungnya. Nafas kehidupan sekaligus nafas keadilan
berhembus pergi entah ke mana. Mungkin sebagai akibat dari peradilan rakyat,
ketika mereka merasa tak puas dengan terbebasnya seorang penjahat besar. Sebuah
pertanyaan, mengapa mesti ada peradilan rakyat, mengapa lembaga peradilan tak
mampu menghukum orang yang melakukan kejahatan. Dan mungkinkah si pengacara
telah membela orang yang sebenarnya benar tetapi dianggap jahat.
Negara semestinya
memiliki kecemasan tersendiri akan kemungkinan terbentuknya “peradilan rakyat”
(dalam kenyataan banyak peradilan rakyat yang sudah dibentuk). Dan jika benar
maka sebenarnya kecemasan ini bisa dicegah, namun sayangnya negara keburu
cemas. Saking takutnya pada amukan massa negara rela mengkhianati kemampuannya
untuk menyelesaikan persoalan secara just
(proses) dan fair (isi). Hanya demi
memuaskan nafsu rakyat, keadilan dan kebenaran pun digantung, melayang-layang
entah ke mana. Yang adil dan benar dalam konteks kecemasan negara adalah yang
menyenangkan rakyat, yang sesuai dengan kemauan mereka, sesuai dengan ide serta
gagasan massa. Sebuah kecemasan kemudian menimbulkan “peradilan rakyat” dan
seorang pencari keadilan mesti menjadi tumbal, kembali setelah menjadi mayat.
Tibo Cs kemudian menjadi mayat, Ahmadyah merana di negeri sendiri. Itulah
gambaran keadilan di negriku Indonesia.
Ruang Kuliah, 3 September 2013
LEDALERO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar